Archive for the 'Skena Lokal' Category

24
Des
19

Album & Lagu Favorit 2019

Dan sampailah kita di sini, di mana 2019 tinggal menghitung mundur tidak hanya habisnya dirinya tetapi juga keseluruhan dekade yang sejak lama mengikutinya. Saatnya menghapuskan lelah dari hari-hari yang membentuk tahun ini. Di sana mungkin ada kesuksesan dalam ketidakpastian, ada kenikmatan dalam kegamangan, ada harapan di tengah kekacauan.  Dalam narasi yang mengiringi semua itu dalam kehidupan saya tahun ini, dan juga mungkin kalian, selalu ada alunan yang menyertai. Yang tanpa sadar kita senandungkan di pagi hari kala menumpang moda raya terpadu, atau yang dengan penuh kepuasan mengiringi tarian malam hari di dalam gelap yang melindungi kita dari ketidakpastian esok hari. Seluruh alunan itu seperti bahan bakar akan sesuatu yang baik yang akan selalu terjadi dalam kehidupan ini. Di bawah ini adalah alunan-alunan favorit saya tahun ini dalam bentuk album dan lagu. Terima kasih 2019.

Album 2019

Album:

Pikiran dan Perjalanan – Barasuara

Dari dalam gelap mereka kembali. Walaupun dalam kasus Barasuara, mereka selalu memberikan api dan lentera dalam planet musik nasional. Album kedua Barasuara seperti menjawab kegelisahan banyak orang di penghujung dekade ini, tentang memikirkan cara menyambung nyawa bumi ini, tentang menyatukan haluan tanpa memiliki pikiran populis, tentang bangkit berjalan lalu melawan apapun yang sedang menghalangi kita. Dan semuanya dibalut dengan musik yang terdengar ambisius dan menjadikan mereka salah satu anugerah terbaik yang pernah kita nikmati sebagai manusia bumi pertiwi.

Everyday Life – Coldplay

Salah satu miskonsepsi saya tentang Coldplay (atau mungkin beberapa orang lainnya), adalah mengharapkan mereka menjadi Radiohead atau U2 berikutnya, hanya saja mereka tidak akan pernah menjadi sama seperti kedua band itu (Terlepas dari rekor konser-konser bombastis yang mereka lakukan). Sehingga hampir setiap band ini mengeluarkan album, ada sebersit kekecewaan karena kesederhanaan musiknya ataupun karena usaha mereka mengawinkan elemen musik kekinian dalam lagunya. Tetapi jika pikiran itu dikesampingkan, dan yang dilakukan adalah hanya memeluk kesederhanaan musik tersebut, Coldplay berubah menjadi band terbaik dekade ini. Itu yang saya rasakan mendengarkan Everyday Life, kesederhanaan itu menohok dan mengalun tenang dalam pikiran, menjadikannya parasut yang menyelamatkan kita dari gravitasi hidup yang seringkali menarik kita terlalu tajam.

The Greatest Ever – Elephant Kind

The Greatest Ever adalah sebuah klaim yang sangat berani untuk judul sebuah album, namun tidak bisa disangkali judul tersebut sesuai, paling tidak untuk semesta Elephant Kind. Ini adalah karya yang paripurna, pop dalam elemen terbaiknya. Dengarkan saja I Believe In You, Watermelon Ham, atau lagu terbaik menurut saya dalam album ini, Better Days. Pejamkan mata, biarkan suara itu menguasai semua indra kalian, dijamin kalian akan merasakan perasaan paling hebat yang pernah ada, dan untuk itu Elephant Kind telah melakukan pekerjaan terbaik mereka.

Everything Not Saved Will Be Lost, Part 1 & 2 – Foals

Apakah memasukkan 2 album yang dirilis terpaut 7 bulan di tahun yang sama menjadi sebuah kesatuan adalah sebuah kecurangan? Faktanya saya tidak pernah dapat mendengarkan 2 album ini menjadi 2 entitas berbeda. Keduanya saling melengkapi seperti layaknya sebuah double album. Dalam part 1, kita akan dibuai dengan keabsurdan Exits, dan keagungan Sunday. Dalam part 2  The Runner dengan bombastis mengingatkan kita Foals adalah salah satu produk GB terbaik dekade ini. Ketika kedua album itu ditutup dengan Neptune yang berdurasi sepanjang 10:18, itu adalah ajakan Foals untuk mengikuti mereka, meninggalkan segala yang telah ada, menyambut segala yang baru “See me when I float like a dove, the skies above are lined with trees, I’m on my knees, begging please. Come and take me away, come and take me away”.

Why Me, Why Not? – Liam Gallagher

10 tahun sudah Oasis membubarkan diri. Dalam 10 tahun tersebut, kakak-beradik Gallagher tidak pernah menghilangkan jejaknya dari tapak musikalis kita. Keduanya tetap bersaing melontarkan hook demi hook, seperti layaknya juara kelas berat yang belum rela melepas sabuk juaranya. Why Me, Why Not? adalah serangan termutakhir Liam, dan betapa tidak mengecewakannya hal itu. Album itu diawali dengan Shockwave, dan sesuai judulnya keseluruhan album itu adalah gelombang kejut tanpa henti. Lagu – lagu seperti Once dan One Of Us adalah instan klasik yang pantas disandingkan dengan karya band mereka sebelumnya. Jika ini adalah sebuah pertarungan tinju mempertaruhkan juara kelas berat, maka Liam dengan sukses mempertahankannya lewat Why Me, Why Not? Noel, kami semua menunggu langkahmu selanjutnya.

Menari Dengan Bayangan – Hindia

Sesungguhnya Menari Dengan Bayangan adalah salah satu karya paling personal dan jujur dari seorang penyanyi/penulis lagu yang pernah saya nikmati. Dengan berani Baskara Putra memperdengarkan 3 voice note orang-orang yang dekat dengan dirinya sebagai bagian dari albumnya, dan itu semua tidak terdengar canggung tetapi merupakan bagian integral yang menambah keindahan album ini. Musik sudah seharusnya memberi harapan, menjadi jawaban terhadap segala macam kekisruhan dengan kejujuran dan keterbukaan yag ditawarkannya, Menari Dengan Bayangan melakukan itu. Waktu mendengarkan album itu pertama kali sambil berjalan di trotoar Sudirman pada sebuah Jumat malam, pemutar musik saya sampai pada lagu Mata Air, dan waktu saya mendengarkan “Hidup bukan untuk saling mendahului, bayangan yang diciptakan oleh mentari ada karena matahari bermaksud terpuji, untukmu cintai diri sendiri hari ini…Mata Airmu ada di sini, Mata Airmu diri sendiri, temukan makna hidupmu sendiri, menarilah dengan bayangan diri sendiri” saya merasa terbebas, sebebas-bebasnya. Untuk momen itu saya berterimakasih kepada Hindia dan album ini.

Kiwanuka – Michael Kiwanuka

Sejujurnya musik Michael Kiwanuka bukanlah tipikal musik yang saya dengarkan sehari-hari. Saya menemukannya ketika dalam sebuah perjalan pulang kantor di atas moda raya terpadu membaca ulasan The Guardian yang mengatakan album ini adalah “one of the greatest albums of the decade”. Didorong rasa penasaran, saya lalu mendengarkannya. Semenjak You Ain’t The Problem (lagu pertama album itu) menendang gendang telinga saya, jiwa saya tersentak. Lantunan gospel di I’ve Been Dazed “The Lord said to me, time is a healer, love is the answer, I’m on my way”, mungkin akan terdengar picisan jika salah disampaikan, tetapi dalam album ini, itu terdengar seperti sebuah terapi yang membebaskan. Hero dan Final Days mengkonklusikan bahwa Kiwanuka memang bukan saja salah satu album terbaik tahun ini, tetapi salah satu tapal batu dalam dekade yang kadang terasa melelahkan ini.

I Am Easy To Find – The National

Sudah lama musik The National berfungsi sebagai terapi paruh baya untuk saya. Tidak terkecuali I Am Easy To Find. Album ini seperti sebuah penangkal kegelisahan dari hari ke hari. Dari awal cumbuan elektronika You Had Your Soul With You, sampai dentingan piano terakhir Light Years, mereka meneropong kita dari terowongan, memberikan berkas-berkas cahaya untuk menyinari hari-hari kelam, sampai akhirnya kita menemukan sumber cahaya tersebut.

Bani Bumi – Polka Wars

Jika seluruh kekalutan manusia dapat dijawab melalui musik, mungkin Bani Bumi bisa menjadi templatnya. Kesedihan, atau apapun bentuk perasaan negatif manusia perlu dimengerti agar dapat memprosesnya. Bani Bumi seperti sebuah proses tersebut. Mendengarkan Fatamorgana atau Avatar kita akan jatuh sebentar ke dasar kesedihan tersebut, sebelum pelan-pelan diangkat perasaan semangat yang meliputi album tersebut. Suar mendekati kita ke sepercik cahaya dengan ritmik positif yang mengiringinya. Ketika kita sampai di Temaram, kita merasa damai, disemaikan melodi-melodi nyaman yang tidak hanya membuai di lagu tersebut, namun di keseluruhan karya magis Polka Wars ini.

This Is Not A Safe Place – Ride

Jika pada tahun 2009, seseorang bilang ke saya bahwa Ride akan merilis 2 album di dekade berikutnya mungkin saya akan menganggap orang tersebut sudah tidak lagi sepenuhnya waras. Namun itulah yang terjadi. Setelah Weather Diaries di tahun 2017, pentolan shoegaze itu merilis This Is Not A Safe Place tahun ini. Dan betapa agungnya kedatangan kembali tersebut. Dengan repertoar lagu seperti Future Love, Cloud Of Saint Marie, dan Eternal Recurrence; Ride tidak hanya kembali ke teritori mereka sebagai sebuah band yang memperkenalkan perasaan eteral ke lagu-lagu mereka, tetapi tetap memuktahirkan musik mereka sehingga terdengar aktual di dekade ini. Mudah-mudahan hal ini berlanjut ke dekade berikutnya, tetapi jika hal tersebut tidak pernah terjadi legasi mereka tetap akan aman dengan This Is Not A Safe Place.

 

 

 

 

Lagu:

You Ain’t The Problem – Michael Kiwanuka

You Ain’t The Problem adalah sebuah pernyataan dari Michael Kiwanuka, bahwa di tahun 2019 musik masih dapat menggugah jiwa, menjadi kompas kehidupan dengan alur ketukan bas drum yang menggiurkan dan kesederhanaan nyanyian “La la la la…” ceria tanpa beban.

Better Days – Elephant Kind, feat. Heidi (The Girl with the Hair)

Mendengarkan Better Days adalah membayangkan hari terbaik di Jakarta tanpa segala kemacetan, kebisingan dan keribetan yang mengelilinginya. Yang ada hanyalah tawa orang-orang terbaik di sekelilingmu, mengendarai mobil dengan atap terbuka menembus Sudirman dengan langit cerah tanpa asap dan harapan baik yang akan datang.

Silver – DMA’s

Sebuah artikel yang saya baca dalam perjalanan pulang-pergi kerja mengantarkan saya pada band asal Sydney yang bulan November lalu menjadi band pembuka tur Liam Gallagher di Britania Raya. Memadukan melodi indipop layaknya datang dari The Stone Roses ataupun The Charlatans, Silver adalah sebuah lagu yang layak menjadi klasik britpop jika saja ia dirilis 2 dekade lebih lawal. Terlepas dari semuanya britpop ataupun tidak, lagu ini adalah kelas.

The Runner – Foals

Ada 2 sisi Foals yang selalu saya kagumi yang juga diulang di dua bagian Everything Not Saved Is Lost. Yang pertama adalah sisi melodik absurd seperti pada Exits, yang kedua adalah tipe lagu seperti The Runner. Entah mengapa, cara Yannis Phillipakis menyanyikan lagu ini dan pendekatan Foals memainkannya seperti sebuah sebuah serangan pasif agresif yang dibungkus oleh nada-nada yang ingin berlari menembus segala apapun yang dilawan jiwa. Dan di situlah letak istimewanya The Runner.

This Life – Vampire Weekend

Kembalinya sebuah band setelah lama tidak berkarya, dapat didekati dengan 2 cara. Skeptis atau dengan tangan terbuka lebar seperti bertemu sebuah kawan baik yang lama tidak dijumpai. Dalam kasus Vampire Weekend, yang terjadi adalah hal kedua. 6 tahun berlalu sejak Modern Vampires Of The City, dan ketika kita mendengar lagu seperti This Life dari album terbaru mereka Father Of The Bride, itu seperti mereka tidak pernah pergi. Kenyamanan berada bersama mereka datang kembali, dan kita pun tersenyum bahagia ketika mereka kembali menemani dalam setiap seruput cangkir kopi yang kita minum.

Orphans – Coldplay

Jangan pernah menganggap Coldplay adalah U2 ataupun berharap mereka membuat lagu seperti Radiohead. Serap saja kesederhanaan dan keindahan melodi dalam setiap lagu mereka. Jika itu yang terjadi, maka kita akan tersenyum bahagia dan menari bersama lagu itu tidak peduli sedang sepedih apa hari yang sedang dilalui. Di situlah letak Coldplay di kehidupan kita, ia membuat banyak orang bahagia, dan Orphans adalah salah satu contohnya.

Future Love – Ride

Perasaan etereal itu muncul kembali. Ketika kita mengawang gamang tetapi lepas dari segala sesuatu yang mengikat jiwa. Waktu melodi-melodi Future Love menyentuh sanubari terdalam kita, gita bergema dalam hati, dan itu adalah sumbu yang selalu membakar kita untuk terus berjalan seperti lirik yang didengungkan lagu ini “You’ve Got Me Going..”

No One Told – Gabriel Mayo

Gabriel Mayo adalah sebuah penyegaran, No One Told yang diambil dari albumnya In Between yang dirilis September 2019 lalu, adalah salah satu jejak pernyataan tersebut. Dengan suara gitar renyahnya lagu ini seakan membawa kita ke dalam sebuah road trip yang sempurna di mana yang ada adalah pacuan rasa bahagia dan di mana keresahan dipudarkan. Perasaan seperti itu adalah perasaan yang diberikan sebuah lagu pop mumpuni.

Mata Air – Hindia, feat. Natasha Udu, Kamga

“Jika kau pernah tersakiti, angkat tangan

Jika kau pernah menyakiti, angkat tangan

Jika kau pernah bahagia, angkat tangan

Jika kau pernah kecewa, angkat tangan”

Lagu ini adalah sebuah perayaan dirimu sebagai manusia, TITIK.

Tarian Penghancur Raya – .Feast

Selain konteksnya yang mengkritik apapun yang perlu dikritik dalam zaman kebablasan populisme ini, Tarian Penghancur Raya menghadirkan permainan kata-kata tingkat dewa, dengarkan saja silat kata “Trotoar lebar, bahan hijau, Tesla, kalah cepat disalip kuda Asia, tewas di lampu merah, garis zebra, Efek Rumah Kaca tiba-tiba suddenly di mana-mana”. Waktu pertama kali mendengarkannya saya tersenyum geli, dan memuji kejeniusan lagu ini dalam hati. Jika ini cara kita memprotes dalam bentuk sebuah seni, hendaklah Tarian Penghancur Raya menjadi formatnya.

Pancarona – Barasuara

Barasuara adalah mercusuar musik nusantara saat ini. Dengan Pikiran dan Perjalanan mereka tidak hanya melanjutkan kegemilangan yang ada pada Taifun, tetapi memperlebar spektrum musik mereka, dan di tengah semua itu terdapat Pancarona. Kelirihan awal lagu ini, membuat klimaks yang terjadi di tengah lagu tersebut ketika judul lagunya pertama kali dinyanyikan menjadi lebih tajam menembus sanubari. Ketika mengingat 2019, kita akan mengingat bahwa Barasuara telah memberikan kita sebuah lagu mengagumkan berjudul Pancarona.

Once – Liam Gallagher

Liam Gallagher selalu memproklamasikan dirinya sebagai spesies terakhir seorang bintang Rock n’ Roll, dan dalam banyak kesempatan hal itu benar adanya. Namun yang lebih benar adalah dia mendewasakan dirinya lewat karya-karyanya yang bertempo lebih lambat daripada lagu-lagu dalam segmen tersebut. Once adalah sebuah balad paling indah pasca Oasis yang pernah diproduksi oleh seorang Liam Gallagher. Tentang hari-hari indah yang menyinari kehidupan dan inspirasi terdahulu yang terus mengiringi kehidupan kita.

Sail On – Noel Gallagher’s High Flying Birds

Hidup seringkali tidak adil terhadap kehidupan beberapa individu yang menghiasinya. Terkadang itu menjadi beban, sampai kita sulit bernafas dan tidak melihat adanya jalan keluar. Namun untungnya hidup juga memberikan kita seorang Noel Gallagher. Ia selalu dapat memberikan kemenangan kecil terhadap kehidupan, dan harapan untuk kembali melangkah. Sail On tidaklah terkecuali, dengarkan saja lirik lagu ini,

“While you’re sick and tired of feeling sorry for yourself

Life will cheer you up and spit you out and put you on the shelf

And you will wake up every morning expecting to be free

You’ve gotta float on”

Walaupun tidak sirna dalam sekejap, namun di balik awan gelap itu terdapat sebersit sinar mentari yang memberikan kehangatan pada wajah kita, pada kehidupan.

BatasL’alphalpha

Dirilis pertengahan Desember 2019, lagu ini adalah yang terakhir masuk ke daftar ini. Sebegitu impresifnya lagu ini, sehingga saya harus mengorbankan lagu lainnya untuk dikeluarkan dari playlist ini. Ketika gitar itu menembus jiwa dari menit 1:40 ke atas, disusul dengan alunan “Dan kau temukan, semua jawaban dalam hatimu, lampai batas” lagu ini terdengar seperti mantra untuk menjadi sendiri dan menjadi lebih baik, melawan rasa takut, memilih antara sisi terang dan gelap. Dengan Batas L’alphalpha telah kembali, dan mereka kembali dengan sebuah ledakan.

Parak – Polyester Embassy

Parak adalah lagu yang menandai kembalinya Polyester Embassy sebelum mereka merilis sebuah EP di tahun 2020. Tetap setia dengan elemen suara yang menjadi ciri khas mereka, ada satu hal yang berubah di lagu ini. Perpaduan gitar dan synth itu kini dibalut dengan lirik berbahasa Indonesia yang menambah keintiman Parak akan sebuah harapan “Semoga esok kan gemilang” kata lagu ini di akhirnya, dan bersamaan dengannya kegemilangan Polyester Embassy akan berlanjut.

Erotika – Goodnight Electric

Waktu pertama kali mendengarkan lagu ini, saya tidak berhenti dengan rasa kagum akan keluaran musik asal negeri ini. Erotika adalah kelas, sebuah elektro pop dari kasta tertinggi yang mengajak kita berdansa dengan ritmik yang menggelorakan jiwa. Di sana ada elemen New Order tetapi itu tidak terasa asing tetapi memberikan identitas nasional kepada musik Goodnight Electric terbaru ini. Setelah 4:22 menit menikmati lagu ini, saya tenggelam dalam relung rahasia Goodnight Electric melalui Erotika.

Borderline – Tame Impala

Di tengah kekacauan dekade ini, ada suara-suara yang mengijinkan kita untuk bermimpi dan mengatakan semauanya baik-baik saja. Dalam banyak kesempatan suara-suara itu datang dalam wujud lagu-lagu Tame Impala. Dengan musik dan vokal yang menghipnotis, Borderline membawa kita ke dalam perasaan itu. Bahwa untuk beberapa saat, hidup kita berhenti di sebuah musim panas, tidak ada kegamangan, yang ada adalah kesempurnaan hidup walaupun itu semua hanya berdurasi empat setengah menit lamanya.

Empires – Elbow

Intro lagu ini sebegitu hebatnya, sehingga ia menghantui saya baik ketika sadar maupun tidak. Keagungannya berputar di dalam kepala diiringi suara bass Guy Garvey yang menyanyikan “Baby, empires crumble all the time…”. Apakah ini referensi terhadap brexit, apakah ini referensi terhadap keruntuhan ego pribadi yang seringkali hancur di tengah kehidupan? Tidak ada yang tahu. Empires adalah testimoni Elbow sebagai sebuah band papan atas Inggris yang selalu menghasilkan karya-karya hebat dan itu sudah berlangsung selama lebih dari 2 dekade. Untuk itu kita layak mengangkat topi untuk mereka.

Fatamorgana – Polka Wars

Pilu adalah harapan baru. Tanpa kekalutan kita tidak pernah merasakan kemerdekaan yang paripurna. Lewat Fatamorgana, Polka Wars merangkum keresahan tentang sebuah asa yang ternyata bukanlah tujuan akhir kehidupan, tentang       ilusi yang dijajakan tanpa basis kemanusiaan. Sesuai judulnya, yang terlihat di permukaan belum tentu selalu indah, kadang kita harus menggali jiwa sedalam-dalamnya sampai kita menemukan sesuatu yang hakiki untuk meneruskan tujuan.

Light Years – The National 

Dan sampailah kita di akhir segalanya. Hari terakhir dari semua usaha yang telah kita raih. Sambil memejamkan mata, matahari sore menyinari wajah kita, di headphone lagu terakhir dari album I Am Easy To Find ini mengalun, dengan pianonya yang berulang-ulang melakukan sinkronisasi harmonis antara keresahan dan kebahagiaan kita. Pelan-pelan malam menyapa, cahaya berganti menjadi gelap, namun di tengah semuanya kita tetap terdiam. Menyadari bahwa kita telah menemukan keseimbangan, dan semuanya akan baik-baik saja.

David Wahyu Hidayat

31
Des
18

Favorite Tracks & Albums 2018

Tracks:

Album:

Screenshot_20181231-130156_PhotoGrid

03
Jan
18

Ulasan Album: Gypsea – Chameleon Delight 

Gypsea

Chameleon Delight

Buatan Records 2017

Gypsea adalah Jeffry Kartika, dan singer/songwriter asal Jakarta ini memiliki sebuah misi melalui debut albumnya Chameleon Delight. Bangkit dari puing-puing Gunver, sebuah band indie dari Jakarta yang pernah menelurkan album berjudul “Wonders of Enlightenment” di tahun 2010; Jeffry Kartika menghasilkan debut album yang inspiratif, penuh variasi serta eksplorasi dari berbagai macam genre seperti pop-rock, vibrasi Jazz, dan elemen-elemen world music; yang membuatnya seperti sebuah kumpulan musik untuk menikmati keindahan milenial dan melawan kegaduhan dystopia yang menyertainya.

Album ini diawali oleh Clouded By Mermaids yang menghanyutkan dengan efek suara orkestrasi yang megah, membuat yang mendengarkannya seperti dibawa ke pesisir pantai yang indah pada saat matahari terbenam. Suasana menyenangkan tersebut dilanjutkan dengan Feet Wet, yang juga merupakan salah satu single dari Gypsea. Pada lagu inilah kejeniusan Jeffry Kartika sebagai seorang penulis lagu mulai ditunjukkan. Karena lagu ini adalah definisi indie-pop yang akan dicintai generasi 90an dan para milenial bersamaan, dengarkan break gitar pada menit 02:06 dan kita semua akan berdansa penuh endorfin diiringi lagu ini.

Setelah diselingi Floriene yang membiuskan, groove itu dilanjutkan pada Passion for The Pacific yang dapat dijadikan sebuah soundtrack musim semi menyenangkan di mana matahari bersinar hangat dan semuanya terasa benar pada tempatnya. Permainan emosi antara lagu tenang dan menghentak penuh semangat dilanjutkan pada dua lagu berikutnya, yaitu Rattle The Stars dan Bias. Yang pertama dengan alunan Piano manis seperti sebuah mimpi indah yang kekal, yang kedua adalah definisi optimisme rock dari Gypsea yang dihantarkan tanpa basa-basi dan menghujam seperti jab Muhammad Ali, sambil meluapkan inti jiwa yang meledakkan langit.

Bias seperti memulai bagian kedua di dalam Chameleon Delight, jika 5 lagu pertama menampilkan keindahan milenial dengan segala optimismenya, paruh kedua album ini layaknya adalah bayangan zaman ini dengan segala kecemasan, kegilaan namun di antara semua itu terdapat harapan yang belum sirna. Forever Beautiful adalah sebuah pyschedelic rock menyambut dystopia yang akan datang dan mendengarkannya seperti mendengar perpaduan Unkle, The Chemical Brothers dan Kasabian dalam satu lagu. Lagu tersebut disusul dengan War Is Spiritual yang dibalut permainan synth seperti hendak memanipulasi alam pikiran. Trilogi dystopia pada album ini ditutup oleh Lick the Paint dengan pola bas yang mendeterminasi pendengaran kita, meresahkan namun menyuntikkan adrenalin sekaligus.

Dengan ritem gitar yang renyah dan melodi menggoda, Sunny Youth adalah Gypsea dalam wujud paling pop yang ditampilkan album ini. Mendengarkannya seperti mendengarkan harapan dan hal-hal baik yang akan menyertainya. Chameleon Delight lalu ditutup dengan Let Me Go yang mengalun lembut dan mengembalikan optimisme seperti ketika kita mendengar lagu pertama album ini.

Jeffry Kartika aka Gypsea menghantarkan sebuah debut album yang solid dengan Chameleon Delight. Seperti dianjurkan nama album itu sendiri, ini adalah album yang penuh dengan elemen-elemen membahagiakan. Mendengarkannya seperti sebuah perjalanan indah yang tidak pernah hambar, kadang ia membuai, kadang ia menerjang, dan sering ia membuat kita menari dan tersenyum di sebuah kota metropolis yang kita cintai. Album ini adalah sebuah permulaan.

David Wahyu Hidayat

Stream Gypsea (Chameleon Delight) Full Album:

Apple Music: https://itunes.apple.com/id/artist/gypsea/id1275629792

Social media:

Youtube: http://www.youtube.com/gypseaband

Soundcloud: http://www.soundcloud.com/gypseaband

Instagram: http://www.instagram.com/gypseaband

Twitter: http://www.twitter.com/gypseaband

Facebook: http://www.facebook.com/gypseaband

31
Des
17

Favorite Tracks & Albums 2017

Tracks:

Albums:

14
Apr
17

Playlist: Favourite Tracks From The Year 1997/2007

 

 

Dalam setiap dekade ada setidaknya satu tahun yang pivotal keberadaannya secara musikalis, karena menghantarkan karya demi karya yang terdengar majestik dan membentuk momen-momen yang mendefinisikan kehidupan. 1997 dan 2007 adalah tahun-tahun yang masuk dalam kategori di atas.

 

Di tahun 1997, orde baru memasuki penghujung hidupnya, begitu juga dengan kerajaan lain bernama Britpop. Album ketiga Oasis Be Here Now memastikan kematiannya secara gemilang, di sisi lain Radiohead melalui OK Computer dengan akurat memprediksi kehidupan setelah Britpop dan abad 21 dengan cara hidup paranoid di sebuah ekosistem bernama Android ataupun sistem operasi lainnya yang mengikat manusia dalam kefanaan dunia maya. Sebelumnya, Blur sudah lebih dulu memilih jalan keluarnya dari skena itu dengan merilis album brilian mereka di awal tahun, serta karya-karya elektronika fenomenal dari The Chemical Brothers dan Prodigy yang membuka jalan bagi artis-artis bergenre elektronik lainnya.

 

10 tahun berikutnya tantanan kehidupan dunia telah berubah, dengan peristiwa 09/11 di tahun 2001 yang mendikte kehidupan di millennium baru. Dalam dunia musik, sekali lagi Radiohead berperan melalui perilisan album In Rainbows dengan metode pembayaran suka-suka. Ketika perilisan fisik di ambang kematiannya digantikan dengan digitalisasi, mereka memilih untuk tidak didikte dengan itu, dan di luar semuanya album tersebut adalah sesuatu yang sangat brilian. Pahlawan-pahlawan baru pun muncul dalam bentuk album-album yang dirilis LCD Soundsystem, Efek Rumah Kaca maupun Bloc Party di tahun itu.

 

Playlist ini adalah sebuah perayaan akan keindahan musik di 2 tahun tersebut yang terpisahkan 1 dasawarsa dan bagaimana momen-momen yang mengitarinya adalah sebuah bersitan kehidupan yang akan selalu tergores dalam pita memori alam pikiran saya.

 

Beetlebum – Blur (dari album Blur)

 

Dirilis sebagai single nomor satu dari album yang berjudul sama dengan band mereka, album ini adalah sebuah awal baru bagi Blur. Perlahan tapi pasti mereka mulai melepaskan ciri khas british ladism yang melekat pada mereka di album-album sebelumnya, digantikan dengan nuansa psikedelia dan americana pada karya-karya di album ini. Jujur saya menyukai perubahan arah ini.

 

Kirana – Dewa 19 (dari album Pandawa Lima)

 

Jika band ini meneruskan arahan yang terdengar pada lagu dan album ini, serta tidak tenggelam dalam godaan lain di luar musik, mungkin Dewa 19 akan menjadi band Indonesia yang paling saya gilai sepanjang masa. Bagaimana tidak, siapapun yang mendengarkan lagu ini di tahun 1997 akan mengakuinya sebagai sebuah mahakarya. Vokal Ari Lasso, permainan gitar Andra, dan nuansa magis yang membungkus lagu itu, semuanya adalah kesempurnaan. Sekali lagi kesempurnaan.

 

Discotheque – U2 (dari album Pop)

 

Siapapun yang pernah hidup dan merasakan tumbuh besar di tahun 90an tidak akan pernah bisa memungkiri, bahwa U2 adalah band terbesar di masa itu. Tidak ada yang bisa menyentuh U2, bahkan ketika merilis Pop dan merilis sebuah nomor discorock seperti Discotheque kita menyorakinya dan menyebutnya sebuah progres luar biasa dalam arahan musik mereka. (Betapa kita sesungguhnya salah besar), namun jika kita mengalaminya di masa itu, kita akan memuja Bono, The Edge, Larry dan Adam dengan sepenuh jiwa kita.

 

Monkey Wrench – Foo Fighters (dari album The Colour And The Shape)

 

Kita masih tenggelam dalam duka akibat wafatnya Kurt Cobain, ketika Dave Grohl memasuki dunia musikalis kita melalui Foo Fighters. Skeptis adalah kata yang tepat karena curiga ia hanya mendompleng nama besar Nirvana. Namun nomor seperti Monkey Wrench di tahun 1997 merasuki jiwa dan telinga kita, dan kita pun dengan cepat menyadari bahwa ia memiliki bakat tersendiri yang berbeda dengan pemimpin band legendaris asal Seattle itu. Pelan-pelan Foo Fighters pun menemukan tempatnya tersendiri di hati kita.

 

Around The World – Daft Punk (dari album Homework)

 

1997, MTV tengah malam di bulan Juni. Sebuah video klip dengan latar belakang warna-warni technicolor dalam bentuk bundaran-bundaran, serta manusia-manusia yang tanpa henti berjalan naik-turun dalam piramida tangga yang berdiri di depannya, diputar di malam yang seakan tak lekas henti itu. Musik yang mengiringinya adalah sebuah pencerahan. Apakah ini, pikir saya waktu itu, kata-katanya hanya terdiri dari “Around The World” yang diucapkan berkali-kali dengan logat eropa, musiknya terdiri dari bits-bits elektronik seperti R2D2 dan C3P0 sedang menyanyi dengan bahasa droid dalam pesta mereka di Millenium Falcon. Ketika video klip itu hendak usai terpampanglah nama artis yang memiliki karya tersebut. Daft Punk. Dan itulah pertama kalinya saya berkenalan dengan mereka.

 

Block Rockin’ Beats – The Chemical Brothers (dari album Dig Your Own Hole)

 

Jika tidak karena The Chemical Brothers mungkin saya tidak akan pernah menghormati karya-karya musik elektronik maupun artis-artis yang saya gilai di kemudian hari seperti LCD Soundsystem. Block Rockin’ Beats adalah pembuka jalan dari semua itu. Bagi saya The Chemical Brothers adalah pionir, dan saya berterima kasih karena mereka telah membuka mata saya.

 

Smack My Bitch Up – The Prodigy (dari album The Fat Of The Land)

 

The Prodigy sesuai dengan nama bandnya adalah komplotan jenius. Mendengarkan Smack My Bitch Up, kita disodorkan sesuatu yang terlalu nyeleneh untuk sebuah musik elektronik, tetapi di sisi lainnya terlalu digital untuk dikatakan punk. Jika elektropunk mempunyai sebuah embrio, lagu ini adalah hal tersebut.

 

Paranoid Android – Radiohead (dari album OK Computer)

 

Paranoid Android akan selalu melekat dalam diri Radiohead, sebagai lagu yang mendefinisikan karir mereka sebagai band paling jenius di generasinya. Ditulis dan dihantarkan sebagai sebuah rock opera multi fragmen, lagu ini akan membuai kalian, lalu menusuk telinga dan raga dari seluruh penjuru, seperti sebuah perjalanan roller coaster yang akan menjungkirbalikkan daya gravitasi, membuat mual tetapi pada momen ketika kita akan meluncur bebas, kita akan merasakan keindahannya. Itulah kejeniusan Paranoid Android.

 

Don’t Go Away – Oasis (dari album Be Here Now)

 

Sejujurnya secara pribadi saya menyukai Be Here Now. Walau sekarang dikecam oleh banyak orang, namun album itu selalu mendapatkan tempatnya di hati saya. Bagaimana tidak, album ini memiliki kekuatan dengan lagu seperti Don’t Go Away yang merupakan salah satu lagu ballad terbaik yang pernah diciptakan Noel (lebih baik dari Stand By Me yang dirilis sebagai single). Be Here Now mungkin merupakan stempel resmi kehancuran Britpop, tetapi bagi saya ini merupakan album solid lainnya yang pernah dihasilkan Oasis. Akhir dari diskusi.

 

The Drugs Don’t Work – The Verve (dari album Urban Hymns)

 

Lagu ini adalah lagu after party dari Britpop, dari segala kegilaan tahun 90an, dari hedonisme masa SMA kalian. Mengalun dengan manis, dengan suara khas Richard Ashcroft yang pasti akan membawa kalian ke alam sadar setelah segala sesuatunya. Lagu ini juga menjadi cetak biru tipikal lagu ballad band dari Britania yang datang setelahnya seperti Travis dan Coldplay. Jika segala sesuatu terasa berat dalam kehidupan, dengarkan saja lagu ini, pejamkan mata, dan semuanya akan baik-baik saja.

 

Fake Empire – The National (dari album Boxer)

 

Ditulis dengan inspirasi Amerika di bawah pemerintahan Bush, lagu ini masih tetap relevan sampai detik ini di tengah segala kegilaan politik populisme dunia. Pada akhirnya memang politik tidak bisa dipercaya, apakah kehidupan yang kita jalani kita hidupi untuk diri kita sendiri, atau untuk kemajuan mereka yang duduk di atas singgasana dalam kerajaan semu? Daripada memikirkan semua itu lebih baik menikmati keindahan lagu ini, sambil ikut melantunkan liriknya “Turn the light out say goodnight, no thinking for a little while

Let’s not try to figure out everything at once….”

 

We’ll Live and Die In These Towns – The Enemy (dari album We’ll Live and Die In These Towns)      

 

Kota yang kita tinggali seringkali keji sekaligus brutal. Ia mengharuskan kita bekerja 12 jam sehari, ditambah dengan pergulatan menempuh kekejaman lalu lintas ketika berangkat dan dalam perjalanan pulang yang dapat memakan waktu tempuh tidak masuk akal. Namun kota yang sama memberikan kita orang-orang yang kita cintai, senyuman dalam diri orang asing yang masih mau membantu kita ketika putus asa karena ban kendaraan kalian tertancap paku. Setiap kali mengingat semua kebaikan tersebut, saya teringat lagu ini, dan saya selalu tersenyum karena di kota ini saya tinggal dan hidup.

 

Bodysnatchers – Radiohead (dari album In Rainbows)

 

In Rainbows adalah album yang nyaris sempurna. Jika Radiohead tidak pernah merilis Kid A, mungkin ini adalah album terfavorit saya dari mereka. Dirilis dengan metode pembayaran sesuka konsumernya, In Rainbows mendobrak pakem-pakem distribusi musik konvensional. Dari sisi musik, ini adalah karya paling menarik yang pernah dihasilkan Radiohead, dengan lagu ini sebagai salah satu contohnya, melalui serangkaian efek gitar yang meledakkan amplifier dan merobek telinga.

 

Hunting For Witches – Bloc Party (dari album A Weekend In The City)

 

Merilis album keduanya di tahun 2007, Bloc Party mengukuhkan diri mereka sebagai band penting asal Inggris penting di generasi mereka. Mengambil tema kegalauan kehidupan generasi milenial, album ini masih menemukan relevansinya sampai sekarang, begitu juga dengan lagu ini yang mempertanyakan versi kebenaran yang kita kejar. Russell Lissack menfiturkan permainan lick-lick gitar menarik yang membuat lagu ini masih menjadi nomor favorit yang dimainkan Bloc Party sampai sekarang.

 

Jacqueline – The Coral (dari album Roots & Echoes)

 

Tidak banyak band seperti The Coral yang dengan keindahan jingle-jangle gitar mereka berfungsi sebagai mesin waktu ke masa-masa di mana dunia tidaklah serumit sekarang. Jacqueline adalah lagu musim semi di mana kegalauan musim dingin telah berlalu, dan yang ada di depan hanyalah hangatnya sang Surya yang menerpa wajah kita ditemani manusia yang kita cintai.

 

True Love Way – Kings of Leon (dari album Because of The Times)

 

“I want in, like a substitute…” sejak awal lagu ini adalah sebuah pernyataan. Jika cinta hanya bisa sekali dinyatakan maka lirik tersebut merupakan sebuah pernyataan yang sangat dasyhat. Karena tidak ada yang lebih tinggi, daripada hasrat sebuah pemain pengganti yang ingin memasuki arena pertandingan. Di album ini Kings of Leon mengukuhkan diri bahwa mereka bukan sekedar pengikut tren yang diawali oleh The Strokes dengan memainkan garage rock, tetapi mereka membuktikan bahwa mereka adalah sebuah kuartet solid yang dapat memainkan musik untuk memukau jutaan orang.

 

Di Udara – Efek Rumah Kaca (dari album Efek Rumah Kaca)

 

Tahun 2007 adalah tahun di mana Yang Mahakuasa menganugerahkan sebuah band bernama Efek Rumah Kaca ke tanah air ini. Dengan lirik yang penuh arti, musik yang mengusik sanubari, band tersebut benar-benar merupakan anugerah dalam kehidupan kita. Di Udara adalah lagu yang didedikasikan untuk almarhum Munir, aktifis maupun pasifis, siapapun yang pernah menyaksikan lagu ini dimainkan langsung akan merasakan bulu kuduknya berdiri. Sekuat itulah kuasa lagu ini.

 

All My Friends – LCD Soundsystem (dari album Sound of Silver)

 

Dengan dentingan piano tanpa henti dan sentakan drum seperti senapan mesin yang menyemburkan pelurunya bertubi-tubi, serta lirik penuh elegi terhadap sebuah pertemanan “…You spent the first five years trying to get with the plan, And the next five years trying to be with your friends again…” James Murphy melalui lagu ini menumpahkan isi hatinya tentang menjadi dewasa. Sesungguhnya mendengarkan lagu ini, tidak ada yang lebih indah menemukan fakta bawah kita tidak lagi di umur belia kita, dan kehidupan sesungguhnya baru saja dimulai.

 

To The Sky – Maps (dari album We Can Create)

 

Maps alias James Chapman adalah semacam tips rahasia balik di tahun 2007. We Can Create adalah sebuah album elektronik pop yang sempurna, mendefinisikan suasana etereal yang lugas, dan To The Sky adalah salah satu permatanya. Mendengarkannya kita akan benar-benar mengambang, menatap langit penuh keindahan tidak peduli apakah hari itu cerah atau dipenuhi kegelapan, karena lagu itu akan mencerahkan segalanya.

 

505 – Arctic Monkeys (dari album Favourite Worst Nightmare)

 

Melalui album keduanya Favourite Worst Nightmare, Arctic Monkeys membuktikan bahwa mereka bukan hanya sensasi semalam saja. Album kedua mereka seperti seorang adik kandung yang lebih misterius namun penuh daya tarik jika dibandingkan dengan album pertama mereka yang sensasional itu. 505 nomor penutup album kedua tersebut, merupakan pembuktian bahwa Alex Turner adalah penulis lagu terbaik di generasinya dan Arctic Monkeys adalah band yang tidak takut untuk memasuki teritori yang baru.

 

David Wahyu Hidayat

08
Jan
17

Ulasan Album: Scaller – Senses

scaller-album-cover-jpeg_orig

 

Scaller

Senses

Swarilis – 2017

 

01 Januari 2017, semua hingar bingar pergantian tahun sudah berlalu. Bersamanya terkubur juga segala kegaduhan dalam kehidupan kita di tahun yang telah silam. Bertepatan dengan datangnya fajar, terhantarkan sebersit harapan akan waktu-waktu yang masih akan dijalani di tahun yang masih perawan ini. Salah satu bentuk harapan baru itu datang dalam bentuk debut album Scaller, Senses.

 

Siapapun yang pernah menyaksikan penampilan Scaller secara langsung, akan tanpa ragu sepakat bahwa duo yang terdiri dari Stella Gareth & Reney Karamoy ini adalah sebuah band yang masuk dalam kategori muda dan berbahaya. Setiap gig mereka bagaikan erupsi-erupsi yang tidak dapat dihindarkan memompa adrenalin mereka yang menyaksikannya. Penampilan mereka ketat, penuh konsentrasi dan terasa seperti pompaan tenaga yang datang dari batang energi yang diasupkan ke badan di pagi hari. Sewaktu secara mengejutkan tanpa basa-basi mereka merilis debut album mereka pada hari pertama di tahun ini, tentu saja pertanyaan itu tidak dapat dielakkan, yaitu apakah debut album ini bisa mewakili bola api yang mereka pancarkan pada penampilan mereka?

 

Jawabannya terdapat dalam 9 lagu yang diproduksi nyaris sempurna oleh Scaller di debut album perdana itu. Mereka tidak sungkan menunjukkan bahwa memang mereka adalah masa depan, dan mengirimkan pesan bahwa 01 Januari 2017 menjadi istimewa bukan hanya itu adalah awal tahun yang baru, tetapi bahwa pada tanggal tersebut Scaller menancapkan tapal batunya dalam sejarah musik negeri ini.

 

Album itu diawali dengan alunan melotron yang dibayangi oleh suara vokal Stella yang setengah mendesah, setengah menyanyikan lirik The Alarms, sebagai lagu pertama album itu; “Always around me and you, that’s enough and in all the endless nights the collide”, seakan ini adalah sebuah kidung yang memulai keagungan versi Scaller. Tapi keheningan tersebut berakhir di lagu pertama itu. Perlahan, tempo dan suasana Senses menanjak dimulai dengan Flair, yang diawali oleh perpaduan petikan gitar akustik dan efek beruntun yang terdengar angular namun mengecoh dengan serangan efek gitar Reney menjelang akhir lagu.

 

Kekuatan vokal Stella yang kadang mengalun merdu membius, di lain waktu bertenaga seperti hendak merobek jiwanya sendiri dan kita sebagai pendengarnya serta keahlian Reney memainkan segala macam efek gitar sebagai peralatan tempurnya menjadi ciri khas dari Scaller sepanjang album ini. Selain itu mereka juga punya banyak kejutan lainnya, seperti alur lagu yang tiba-tiba berubah dari suara rock alternatif khas 90-an menjadi rentetan gitar yang menjadi ciri khas band asal Inggris Foals di lagu ketiga Move In Silence. Atau suara alat musik sentuh yang dimainkan Stella di awal lagu Senses yang pelan merasuk pikiran sebelum ia menaikkan doanya dalam lantunan nyanyian “I haven’t been alive enough when we gaze into the stars, do you sense the Divine? Everything is right” dibarengi serangan gitar Reney yang menghantarkan kita ke nirvana baru musik alternatif tanah air.

 

Memasuki paruh kedua album itu, Scaller menambahkan bahan bakar yang membakar adrenalin Senses dengan lagu seperti Three Thirty yang bertempo lebih cepat bagaikan sebuah jet yang sedang mengincar sasarannya. Sedangkan dalam A Song dan The Youth, Stella bernyanyi seperti hendak merobek jiwanya untuk menenangkan suara generasinya. Di lagu berikutnya, Upheaval yang merupakan sebuah nomor instrumental, giliran Reney yang mengambil alih Senses. Dengan permainan efek gitar yang saling bersahut-sahutan, Reney seperti sosok seorang master Jedi yang sedang bertarung dengan Sith lord memperebutkan supremasi dalam dirinya sendiri, sedangkan mereka yang melihat pertarungan itu, berdansa menikmati keindahannya.

 

Senses ditutup dengan Dawn Is Coming. Kita yang mendengarkan album ini memejamkan mata sekali lagi sementara mentari mulai memunculkan wajahnya diufuk sana diiringi oleh kelugasan lantunan suara Stella dan tajamnya efek gitar Reney yang memancarkan optimisme. Turut bersamanya adalah sebuah harapan baru bahwa Scaller adalah sebuah masa depan, dan harapan itu tidak mengecewakan melainkan bersinar dengan terangnya.

 

David Wahyu Hidayat

 

 

 

26
Des
16

Favorit 2016

photogrid_1482687460277

 

 

Kebahagiaan musikalis saya tahun ini berawal di Teater Besar Taman Ismail Marzuki pada 13 Januari 2016, ketika saya menyaksikan megahnya Efek Rumah Kaca mengantarkan lagu-lagunya pada Konser Sinestesia. 3 bulan setelahnya di penghujung April, saya menjadi saksi di mana lapangan parkir Senayan diubah menjadi lantai dansa psikedelik masal oleh Tame Impala dalam kunjungannya ke Jakarta.

 

Di paruh kedua tahun ini, tanah air dibanjiri dengan banyak pertunjukkan musik, tak luput juga perhelatan festival. Saya beruntung dapat datang di 2 kesempatan yaitu Soundrenaline Festival di GWK, Bali dan Synchronize Festival di Kemayoran (Dengan menyaksikan Rhoma Irama sebagai salah satu momen paling berkesan yang saya rasakan tahun ini). Satu hal yang saya simpulkan dari mendatangi 2 festival itu adalah betapa kayanya negeri ini akan band/artis berkualitas, dan di tengah-tengah segala pertanyaan akan apa artinya menjadi Indonesia, musik yang dibawakan dari band-band tanah air itu yang membuat saya bangga menjadi warga negara Nusantara dan merasakan bersyukurnya menjadi bagian dari nasion yang sangat kaya dan beragam ini. Di dua festival itu, musik mempersatukan keragaman penonton tanpa memandang latar belakangnya, dan kita semua bisa merasakannya dalam atmosfir penuh kebahagiaan.

 

Dalam format trek dan album, tahun ini kembali dipenuhi dengan segala hingar bingar yang membuat kita terpana penuh keheranan, karena musik sekali lagi menyulap hari-hari kita menjadi sesuatu yang istimewa, tak peduli kita sedang berada di rumah, maupun sedang tenggelam dalam tuntutan pekerjaan, sedang sendiri atau bersama orang-orang yang kita kasihi. Di bawah ini, adalah para trek dan album favorit saya tahun ini yang mengubah dan memberi arti hari-hari saya di tahun 2016 ini.

 

https://open.spotify.com/user/david.hidayat/playlist/7HHV2aRRAY65KaVlThSOtB

 

Trek:

 

Beat The Ordinary – Elephant Kind

 

Lagu ini adalah sebuah pembuktian bahwa Elephant Kind adalah sebuah unit (indie) pop berbakat yang ada di Indonesia saat ini. Setiap hook-nya menyiratkan keoptimisan masa muda dan harapan bahwa dunia bisa ditaklukkan di bawah kaki mereka tanpa harus menaklukkan siapa pun.

 

 

Aviation – The Last Shadow Puppets

 

Ketika Arctic Monkeys sedang tidak menghibur kita dengan apapun yang mereka rilis, Alex Turner menyibukkan diri dengan sahabatnya Miles Kane sebagai The Last Shadow Puppets. Aviation adalah trek tipikal duo tersebut dengan gitar berefek retro serta lirik yang membuat para wanita turun berdansa dan para pria berdiri terpana mengaguminya.

 

Find Me – Kings of Leon

 

13 tahun sejak Youth & Young Manhood dirilis, Kings Of Leon tetap konsisten memainkan rock americana yang mampu diterima oleh masyarakat arus utama. Find Me adalah nomor yang punya daya tarik karena lick berkesinambungan Matthew Followill terlalu manis untuk dilewatkan dan suara vokal Caleb Followill masih tidak dapat ditolak oleh semua orang yang punya selera bagus dalam bermusik.

 

 

Gimme The Love – Jake Bugg

 

Ini adalah lagu paling terus terang dari Jake Bugg. Menyanyi seakan dirinya adalah rapper paling begundal dan dengan semangat seorang Mike Tyson, Gimme The Love adalah pernyataan seorang artis yang tidak kenal kata takut untuk berevolusi.

 

Like Kids – Suede

 

Salah satu kritikus musik menyebutkan Night Thoughts adalah album di mana Suede menemukan keseimbangan antara sisi gelap Dog Man Star dan keseksian Coming Up. Trek ini mencerminkan yang terakhir, ketika Brett Anderson menjadi androginous sejati diiringi binalnya suara gitar Richard Oakes.

 

Million Eyes – The Coral

 

Setiap kali The Coral mengeluarkan album, setiap kali itu pula saya terpana karenanya. Distance Inbetween adalah sebuah album ajaib, dan trek seperti Million Eyes adalah buktinya. Para sonic scouser itu menukar pop-folk mereka dengan psikedelia berat namun harmonis di lagu itu. Memasuki 14 tahun karir bermusik mereka hal itu adalah sebuah konsekuensi yang sangat logis untuk diambil, sekaligus patut diacungkan jempol sebagai tanda betapa briliannya mereka.

 

Serigala – Indische Party

 

Entah atas alasan apa, menurut saya Analog adalah album yang sangat identik dengan The Velvet Underground dengan Serigala sebagai trek andalannya. Trek  itu membakar semangat, seperti layaknya  seorang pemuda yang akan menerkam dan menaklukkan CBGB di malam menuju Minggu.

 

Threat Of Joy – The Strokes

 

Lagu ini adalah sebuah pertanda bahwa The Strokes masih dapat dengan mudah menciptakan lagu yang sangat melodis seandainya mereka mau sepakat untuk melakukannya. Tanda-tanda akan kecintaan mereka terhadap musik yang mudah dipasarkan seperti waktu mereka menghantarkan Is This It, terdengar dengan gamblang di lagu ini. Mudah-mudahan ini bisa menjadi barometer untuk lagu-lagu mendatang yang akan dikirimkan The Strokes ke planet ini.

 

Candu Baru – Zatkimia

 

Ketika mendengarkan Zatkimia pertama kali di Soundrenaline, saya terhenyak karena melihat sebuah band yang sangat menyegarkan dan tanpa rasa takut menguasai panggung di GWK waktu itu. Band ini adalah pahlawan baru pulau dewata, dengan musik yang kental akan aroma grunge dan rangkaian musik alternative yang kita kenal di tahun 90-an. Walaupun belum mengeluarkan album secara penuh, lagu yang bertemakan kecanduan manusia akan segala piranti digital ini, menjadi semacam pertanda bahwa semesta akan menyertai masa depan band ini.

 

The Journey Starts Tonight – Rumahsakit

 

Anak indie atau bukan, penggemar Rumahsakit atau bukan, lagu ini wajib menjadi soundtrack baru mereka yang sedang kasmaran serta mencintai kehidupan. Daya tarik pop lagu ini terlalu besar dengan lirik yang sangat optimis “’Cause you are so bright And now I’m blinded by The magic in your smile” dan riff gitar apik yang akan membuat kita bersiul bahagia setiap pagi. Jika semuanya tergantung kepada saya, lagu ini seharusnya berada di setiap siaran tv dan radio yang mempromosikan lagu Indonesia, karena ini adalah lagu bagus dan setiap orang harus mengetahuinya.

 

 

Wave – Heals

 

Tradisi bahwa Bandung selalu memproduksi band beraliran shoegaze yang tidak kalah kualitasnya dengan band yang berasal dari Oxford maupun Stockholm dilanjutkan dengan Heals. Merilis beberapa single di tahun ini, dengan Wave adalah salah satunya, Heals adalah badai suara yang tidak dapat dilewati. Kualitas band dan lagu ini terlalu baik, sehingga sudah seharusnya kerajaan shoegaze itu di kudeta, dan ibukotanya dipindahkan ke Bandung.

 

Stunt Queen – Bloc Party

 

Lagu ini adalah definisi Bloc Party MK II, di mana saat mereka bercumbu dengan aroma elektronika tidak menjadikan keluaran band ini menjadi janggal tetapi merupakan sesuatu yang patut dipeluk dan dinikmati. Saya beruntung menyaksikan Bloc Party dengan komposisi personil baru di Bali, September lalu. Yang saya saksikan adalah sebuah band yang kembali menikmati posisinya sebagai salah satu band berpengaruh di dekade lalu dan itu terasa dan terdengar dalam Stunt Queen.

 

Beautiful Thing – The Stone Roses

 

Tahun ini dua kali saya bangun dini hari bukan untuk sepakbola, tetapi untuk mendengarkan pemutaran perdana lagu terbaru dari The Stone Roses. Lagu yang dirilis kedua, seperti judulnya adalah sesuatu yang indah. Jika hiatus panjang itu tidak pernah terjadi, dengan wah-wah yang mendominasi dan hook-hook psikedelik dari John Squire serta vokal biblikal Ian Brown, lagu ini tidak bisa tidak merupakan penerus yang sah dari Fools Gold.

 

Finally First – Beyond The Wizard Sleeve

 

Hentakan drum repetitif itu sukses menghanyutkan kita ke dalam era di mana definisi musik elektronik adalah Chemical Brothers dan Everything But The Girl, serta acid house adalah musik yang kita cintai kala berpesta di pesisir Ibiza pada puncak dekade 90an.

 

Extra Mile – Kimokal

 

Sebenarnya ketukan-ketukan yang mengawali lagu ini terasa janggal ritmenya namun kaki tidak bisa diam untuk berdansa dengannya. Sementara itu vokal Kallula yang meramban otak kita membentuk sebuah halusinasi nyaman dalam alam pikiran. Sesaat kita lupa akan dunia nyata, dan memasuki kemayaan indah versi Kimokal.

 

Identikit – Radiohead

 

“Broken hearts make it rain” kata-kata itu diulang Thom Yorke di lagu ini seperti mantra. Apakah ini lagu patah hati Radiohead yang pertama? Sesungguhnya tidak peduli ini lagu patah hati atau bukan. Dengarkan musik yang mengiringinya; ketukan-ketukan ganjil itu, suara synth yang menghantui ketika Yorke menyanyikan kata-kata di atas dan rentetan gitar yang membentuk klimaks di akhir lagu. Mendengarkan semua itu, kita tahu bahwa Radiohead tetap dan masih sebuah band jenius yang tidak ada tandingannya di abad ini.

 

 

Monumen – The Trees and The Wild

 

The Trees and The Wild benar-benar membangun sebuah monumen yang dilapisi tembok-tembok suara menakjubkan di lagu ini. Ia seperti ledakan emosi paling hebat dalam tubuhmu dengan vokal yang menghantui, hentakan drum yang konsisten mendeterminasi jiwa dan serangan gitar penuh dengan efek yang menyeruak dan berkoloni di dalam alam pikiran.

 

Merdeka – Efek Rumah Kaca

 

Efek Rumah Kaca merilis single mereka ini menjelang hari kemerdekaan RI yang ke 71. Sungguh, saat mendengarkan Efek Rumah Kaca, salah satunya melalui lagu ini, kita selalu diingatkan terus menerus akan makna menjadi manusia seutuhnya dan menjadi Indonesia sepenuhnya. Lagu ini adalah sebuah harapan.  

 

Pekerja – Bangkutaman

 

Lagu latar buat para pekerja-pekerja di metropolis Nusantara. Memang perjalanan menuju dan dari tempat bekerja bisa saja berbuat kejam kepada kita. Tuntutan atasan dan pekerjaan bisa membuat lupa bahwa kita seorang manusia. Lagu dengan nuansa folk ini mengingatkan kita bahwa sesekali tidak ada salahnya menghela nafas sesaat dan menjadi rileks sejenak, sebelum meneruskan pekerjaan dengan sebaik-baiknya.

 

Modern Soul – James Blake

 

Menjelang tengah malam dan jam-jam setelahnya adalah waktu yang tepat untuk mendengarkan musik James Blake, tak terkecuali lagu ini. Musiknya akan menyelimuti kita dengan kegundahan yang menyenangkan, ia akan mengambil porsi kekuatiran yang dibawa oleh kegelapan malam, sambil memberi sedikit nyawa kepada fajar yang sebentar lagi akan datang.

 

Cahaya – Tulus

 

“Bila aku pegang kendali penuh pada cahaya, aku pastikan jalanmu terang”, begitulah janji Tulus kepada kita. Di tahun  2016 ini, bintang penyanyi yang satu ini masih bersinar terang benderang, dan turut bercahaya bersamanya adalah segenap planet pop tanah air.

 

 

Album:

 

Zaman, Zaman – The Trees & The Wild

 

Sesungguhnya dan secara instan album kedua The Trees & The Wild ini adalah sebuah candu yang takkan habis masa pengaruhnya setelah lama didengarkan. Siapapun yang beruntung pernah menyaksikan penampilan band ini secara langsung di tahun yang penting bagi mereka ini, akan merasa pengar musikalis untuk waktu yang berkepanjangan setelahnya. Karena seperti albumnya, mereka telah memberikan sesuatu yang terlalu atmosferik untuk dilepaskan, magis dan monumental sekaligus.

 

A Moon Shaped Pool – Radiohead

 

Album brilian dan menghantui sanubari yang mendeskripsikan Radiohead dalam fase terbaiknya. Mungkin mereka tidak lagi membuat sebuah opera rock seperti Paranoid Android, ataupun mengantarkan trek bernuansa Stanley Kubrick seperti Idioteque, namun silahkan dengarkan Daydreaming dan Identikit, keduanya adalah bagian dari keajaiban yang hanya dapat dihantarkan oleh Radiohead.

 

Analog  – Indische Party

 

Mendengarkan album ini, pikiran lantas teringat kepada New York, Velvet Underground serta musik latar mini seri HBO Vinyl, dan itu adalah sebuah komplimen! Mendengarkan Babe You Got A Hold On Me Somehow seperti mendengarkan Lou Reed sedang berkontemplasi, vokal Tika Pramesti di Ingin Dekatmu mengalun adem dan mengingatkan akan keseksian Nico, sedangkan Serigala mempersiapkanmu menerkam malam minggu paling liar di CBGB!!!

 

Distance Inbetween – The Coral

 

Tidak ada yang berani memperkirakan bahwa The Coral masih sanggup mengeluarkan album, dan betapa sungguh dasyhatnya gelombang yang dikirimkan oleh Distance Inbetween. Serangan-serangan psikedelia kelas berat bertubi-tubi dipancarkan album ini dalam lagu seperti Chasing The Tail Of A Dream maupun Million Eyes. Selayaknya pembaruan yang telah dilakukan oleh seorang Juergen Klopp dalam tubuh tim bola merah kota asal band tersebut, sudah saatnya pula kita balik percaya bahwa The Coral telah kembali dan merestorasi kejayaan mereka.

 

The Soft Bounce – Beyond The Wizard Sleeve

 

Beyond The Wizard Sleeve adalah sebuah kursus bagaimana membuat musik elektronik terdengar sangat organik, dengan mencampurkan elemen psikedelia dan acid house. Ada elemen nostalgia tahun 90-an di sana, mendengarkan album ini seperti mendengarkan The Chemical Brothers dicampur oleh Everything But The Girl yang sedang diet mayo. Jika tidak percaya dengarkan saja Diagram Girl, Creation ataupun hantaman drum penuh ekstase itu dalam Finally First.

 

O – Kimokal

 

Kimokal adalah bukti bahwa geliat musik (indie) Indonesia tidak melulu harus menampilkan gitar sebagai senjata utamanya. Dibalut dengan untaian bit elektronika dan sentuhan post-dubstep, album debut mereka O akan memberikan abstraksi multi warna ketika kita mendengarkannya. Kadang bayangan itu tentang kilau lampu ibukota yang mempesona, kadang tentang sebuah metropolis entah di mana yang memanggil kita untuk berdansa.

 

Walls – Kings Of Leon

 

Setelah album ini dirilis, segala perdebatan dan perbandingan tentang siapa yang lebih baik dan lebih besar antara Followill bersaudara dan lima pemuda dari New York yang menamakan dirinya The Strokes, sudah dan harus diakhiri untuk selamanya. Jika The Strokes seringkali kehilangan arah antara ingin meneruskan warisan Is This It atau membuka dimensi baru di album-album setelahnya, Kings Of Leon mendirikan dinasti yang dibangun dari setiap rilisannya. Walls adalah buktinya.

 

City J – Elephant Kind

 

Terlepas dari sumpah serapah yang bertebaran dengan joroknya di sudut-sudut album ini, dan lagu-lagu yang dipotong dengan janggal ketika kalian sedang asyik-asyiknya mendengarkan (itu mungkin disengaja demikian), City J adalah karya debut pop yang sangat sukses. Album itu diawali dengan Beat The Ordinary yang menebar harum keadaan indie pop Indonesia 2016, dan kemudian dituntaskan dengan pamungkas dengan trek seperti Montage dan The Saviour.

 

Hymns – Bloc Party

 

Sejujurnya setelah mencintai band ini dengan sangat semenjak pertengahan dekade lalu, saya sempat skeptis menyambut album pertama Bloc Party sepeninggalan Gordon Moakes dan Matt Tong yang digantikan dengan Justin Harris & Louise Bartle. Hymns bukanlah album yang menjatuhkan bom seperti Silent Alarm atau bahkan Four sekalipun, tetapi mendengarkannya seperti bertemu seorang teman lama yang selalu tahu cara mengusir kegundahan dengan cara yang lebih dewasa dan menenangkan. Euforia dekade lalu telah berakhir, dan di tengah waktu yang tak kenal arah ini, Hymns datang sebagai penyembuhan agar kita tetap waras.

 

Night Thoughts – Suede

 

Dengan banjirnya layanan streaming musik termasuk di tanah air ini, tahun ini adalah waktu yang dinyatakan sebagai tahun matinya format album. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Di genre yang lebih dekat dengan arus utama dikatakan Beyonce, Drake dan Kanye menjadi penyelamat format tersebut, sedangkan untuk kita yang terjebak dengan musik dari 2 dekade lalu, Suede menjadi penyelamat dengan merilis Night Thoughts yang dikemas dalam musik yang tidak terputus antar treknya dan bertautan dalam cerita satu sama lain serta didukung oleh sebuah film yang menjadi visualisasi musiknya. Night Thoughts adalah album matang dari Suede yang mengkombinasikan kegelapan Dog Man Star dan keseksian Coming Up dalam album ini. Jika semua band/artis yang reuni setelah bubar memproduksi karya seperti Suede, maka kita semua akan menjadi orang yang lebih bahagia di dunia ini.

 

David Wahyu Hidayat

13
Nov
16

Impresi 2 hari di Soundrenaline Festival 2016

Di awal September lalu, tepatnya pada 3 & 4 September 2016, melalui sebuah kompetisi menulis yang diselenggarakan oleh Rolling Stone Indonesia tentang konser terbaik yang pernah disaksikan, saya berkesempatan menyaksikan Soundrenaline Festival setelah terpilih menjadi salah satu dari 3 pemenang kompetisi tersebut. Pemenang lainnya adalah: Tantan Rahmatullah (https://konstelasikata.wordpress.com/) & Adam Muslihat Santika Putra (https://sayabercengkerama.wordpress.com/).

Kami bertiga diberangkatkan oleh Rolling Stone Indonesia dan selama dua hari memiliki pengalaman tak terlupakan menyaksikan festival terbesar negeri ini sekaligus berkenalan sedikit tentang sisi jurnalisme musik dari teman-teman Rolling Stone Indonesia yang menemani kami. Sebagai “reporter tamu” kami pun diberikan pekerjaan rumah untuk menulis liputan dari Soundrenaline 2016. Di bawah ini adalah impresi saya dari dua hari menghadiri festival terbesar Indonesia itu.

kolase-soundrenaline

Liputan saya tentang Soundrenaline 2016 yang dimuat di situs rollingstone.co.id:

Rolling Stone Indonesia – Soundrenaline 2016 – David Wahyu Hidayat

rolling-stone-indonesia-binar-hidup-bergelora

Rolling Stone Indonesia edisi Oktober 2016 yang menampilkan kami bertiga sebagai pemenang kompetisi menulis tersebut:

rsi-oktober-2016-soundrenaline-2016

David Wahyu Hidayat

31
Okt
16

Impresi dari 3 hari di Synchronize Festival 2016

Rhoma Irama: Kharisma tanpa batas atas kecintaan tanah air dengan musik yang mampu menggoyangkan semua pecinta musik tanpa terkecuali.

Barasuara: Masih tidak tergoyahkan posisinya sebagai band paling menggemparkan saat ini.

The Trees & The Wild: Magis & monumental, momen favorit pribadi 3 hari kemarin.

Efek Rumah Kaca: Tiap konser ERK dengan formasi lengkap adalah sesuatu yang istimewa.

The Milo dan Heals: 2 band ini meneruskan tradisi dan persepsi bahwa band shoegaze terbaik Indonesia adalah dari Bandung.

The Upstairs: Jimi Multhazam adalah pencerita handal dan bandnya selalu berhasil membuat anak indie disko darurat di manapun kapanpun.

Scaller: Apalagi yang mau dikatakan tentang band ini? Mereka adalah masa kini dan masa depan! 

Pure Saturday: Menutup Jumat malam dan memulai hari Sabtu dengan bahagia adalah esensi Pure Saturday.

Payung Teduh dan Float: Di tengah hingar bingar Festival, musik dari 2 band ini bagai oase yang sejuk dan menenangkan.

Elephant Kind: Terkendala gangguan teknis pada gitar utama mereka, membuat penampilannya di minggu sore sedikit tersendat. Untungnya mereka punya lagu yang membuat penonton berinteraksi seru khas generasi milenial yang membuat penampilan itu berkesan.

Kelompok Penerbang Roket: Liar dan gas penuh tanpa rem, seperti yang selalu diharapkan dari mereka. 

The SIGIT: Rok n’ Rol bukanlah hanya sebuah konsep, The SIGIT itu perwujudannya.

The Brandals dan The Adams: Banyak hal yang menjadi ciri khas Jakarta, dari yang baik maupun buruk. Entah kenapa 2 band ini selalu identik dengan kebaikan ibukota di kepala saya, tidak terkecuali waktu mereka tampil pada hari kedua di Synchronize Festival.

FSTVLST: Barely art, almost rock. Impresif sesuai dengan slogan mereka. 
Rock n’ Roll Mafia: Band ini tidak pernah benar-benar ada di radar saya, dan ini akan berubah sejak penampilan mereka di hari ketiga.

90’s Hiphop All Star: Siapa yang menyangka beat dan rentetan lirik dari para rapper paruh baya mampu mengguncang Kemayoran dengan hebat.

Terlepas dari kendala teknis yang dialami beberapa band di panggung utama, ini festival yang seru di mana seluruh genre melebur dalam atmosfir menyenangkan. Mudah-mudahan pergerakan ini berlanjut di tahun mendatang.

David Wahyu Hidayat 

11
Okt
16

Sampul album favorit pilihan pribadi

photogrid_1474687482965

 

 

Di dekade yang telah silam, ketika koleksi musik belum berupa untaian megabit di peternakan data yang mengawang di awan ataupun sekumpulan data di ponsel pintar kita, adalah sebuah kepuasan tersendiri memegang sebuah karya musik di tangan. Dalam diri saya, konteks kepuasan mengkoleksi itu awalnya berupa kaset yang kemudian berganti menjadi CD. Rasa pemuasan diri itu dimulai dari saat membuka kotak CD, menaruh piringan plastik yang sebagian besarnya berwarna perak ke dalam pemutar musik pribadi, lalu tenggelam dalam gelombang pemuasan indra: di telinga dengan musik, di hidung dengan bau lembaran sampul album yang sangat khas dan mata dengan karya seni yang ditampilkan pada sampul albumnya.

 

Ya, sampul sebuah album ataupun single berperanan cukup besar dalam diri saya untuk mengenal sebuah band/artis yang saya gilai. Hal itu menjadi pintu gerbang menguak misteri artistik yang dipersembahkan sang artis selain musiknya sendiri. Saya ingat ketika membeli album Dangerous, Michael Jackson dalam bentuk kaset, sebagai salah satu musik yang pertama kali saya konsumsi; puluhan mungkin ratusan jam saya habiskan untuk menatap setiap detil sampul album itu, padahal album itu saya beli dalam bentuk kaset yang besarnya jelas kalah dibandingkan dengan besar layar ponsel pintar yang saya gunakan untuk memulai menulis tulisan ini.

 

Sadar atau tidak sampul album menjadi bagian penting dalam mengkoleksi musik, bahkan di era digital ini, koleksi musik di piranti digital saya wajib memiliki sampul yang benar. Dosa rasanya jika musik tidak disertai gambar muka yang benar. Berangkat dari hal-hal tersebut, di bawah ini adalah 9 dari banyak sampul album yang meninggalkan kesan mendalam pada alam pikiran saya.

 

 screenshot_20160924-101403

 

The Stone Roses – The Stone Roses
Guratan artistik itu, didampingi dengan triwarna bendera Perancis dan 3 buah lemon adalah pembuka jalan saya mengenal Jackson Pollock; Seorang pelukis berpengaruh Amerika dengan gaya abstrak ekspresionis. Nafas sampul album itu melengkapi kesempurnaan debut album band asal Manchester itu. Seperti musiknya ia memberikan aura magis, multi dimensional sekaligus menebarkan keindahan.

 

 screenshot_20160924-101246

 

Pure Saturday – Pure Saturday
Satu hal yang disayangkan dari album ini, baik dari musik maupun wujud fisiknya adalah ia tidak berbekas di era digital ini. Ketika Pure Saturday mengeluarkan album retrospektif mereka, nomor dari album itu direkam ulang dan tidak pernah menyamai keajaiban versi aslinya. Untungnya seorang teman sempat membuat kopi digital album ini dari kaset yang saya miliki, dan siapapun di luar sana mengkonservasi kovernya juga dalam bentuk digital. Melihat mainan kapal api oranye di bawah tulisan Pure Saturday itu, selalu membangkitkan memori balik ke tahun 1996 ketika 5 pemuda asal Bandung memberikan Indonesia sebuah definisi baru: Indie.

 

screenshot_20160924-100115

 

 

Is This It –  The Strokes
Band ini selalu menjadi bayangan ideal tentang New York, segala sesuatu dalam album itu adalah fantasi sempurna saya tentang kota itu. Sampul album yang dalam rilisan di beberapa negara digantikan dengan karya lukisan abstrak karena dianggap terlalu vulgar, bagi saya seperti teropong akan kehidupan di NY. Ia menelanjangi indera dengan pencitraan artistik bokong seorang perempuan, ia bisa dianggap liar dan menggairahkan sekaligus juga ia adalah penerjemahan paling gamblang dari sesuatu bernama “rock ‘n roll” di milenium yang baru.

 

screenshot_20160924-100708

 

Ode Buat Kota – Bangkutaman
Ini adalah salah satu album di mana saya jatuh cinta dari melihat sampulnya saja, sebelum mendengar satu nada pun di album itu. Sampul album ini dengan jalanan protokol Jakarta yang sunyi dan nyaris asri adalah kerinduan akan sebuah kota yang kita cintai, hanya karena kita tinggal di kota itu; sambil berharap bahwa sampul album itu adalah keadaan yang sebenarnya. Ideal, untuk selamanya.

 

screenshot_20160924-100509

 

(What’s The Story) Morning Glory – Oasis
Jika saya anggota sebuah band, dan berhak menentukan sendiri sampul albumnya, maka desain album itu akan seperti desain Brian Cannon untuk 3 album pertama Oasis. Ia dapat menampilkan aura sebuah band dengan sempurna sekaligus menangkap era yang mendefinisikan musik band tersebut. Mungkin ini hanya nostalgia belaka sebagai anak yang tumbuh-kembang di era itu, tapi desain album Oasis dari masa tersebut terutama Morning Glory dengan potret Berwick Street di pagi hari memiliki citra klasik yang tidak akan punah dimakan waktu.

 

screenshot_20160924-100404

 

A Weekend In The City – Bloc Party
Sampul hasil karya fotografer Jerman Rut Blees Luxemburg ini adalah penerjemahan sempurna dari judul album kedua Bloc Party, A Weekend In The City. Kota di sampul album itu boleh saja adalah London, namun foto itu berbicara kepada semua orang yang mendengarkan album itu terlepas ia tinggal di London atau tidak. Jalan layang itu, lapangan sepakbola itu; semuanya terlihat begitu tenang sebelum datangnya akhir pekan menakjubkan yang akan menggulung jiwa dan pikiran.

 

screenshot_20160924-100327

 

Kasabian – Kasabian
Tampak depan sebuah album, selain musiknya sendiri, adalah pernyataan pertama sebuah band terhadap jatidiri mereka, dan itu yang terpampang pada sampul debut album Kasabian. Saya suka sekali dengan sampul album itu, karena terlihat berbahaya sekaligus misterius seperti seorang demonstran yang hendak menantang tatanan kemapanan. Persis seperti itulah Kasabian, dan saya pun takluk kepada mereka.

 

screenshot_20160924-095354

Whatever People Say I am, That’s What I’m Not – Arctic Monkeys
Hype dan hype adalah yang mengawali eksistensi Arctic Monkeys. Saya sempat skeptis mulanya terhadap band ini. Namun kemudian saya mendengar musiknya dan semuanya terjustifikasi. Pria merokok yang ada di sampul album ini (konon adalah seorang teman band tersebut) adalah personifikasi keresahan sebuah generasi, katakanlah itu generasi milenium, di britania khususnya. Sampul itu cocok dengan segala yang dinyanyikan Turner di album itu, dan seperti musiknya ia memberikan pernyataan bahwa Arctic Monkeys sudah hadir dan mereka adalah band terbesar Inggris saat ini setelah Oasis.

 

screenshot_20160924-100549

 

Sgt. Pepper’s Lonely Heart Club Band – The Beatles
Pertama kali melihat sampul album ini, saya dengan seru menelusuri satu-persatu tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Pengalaman melihat tokoh-tokoh seperti Bob Dylan, Oscar Wilde, Marilyn Monroe maupun Marlene Dietrich di sampul album it seperti berada dalam sebuah sirkus publik figur paling berpengaruh planet ini. Musiknya pun terasa seperti itu. Memperdebatkan mana sampul album The Beatles terbaik (apakah seharusnya Revolver yang ada di posisi itu) akan sama panjangnya seperti meributkan mana album The Beatles terbaik (favorit saya tetap The White Album). Tidak penting sebenarnya memusingkan hal itu, yang penting adalah menenggelamkan diri ke dalam musik band paling berpengaruh sepanjang masa ini dan menjadi bahagia karenanya.

 

David Wahyu Hidayat

 

 

Tulisan ini diinspirasi setelah saya membaca artikel serupa di The Guardian beberapa pekan yang lalu.

 

The greatest record sleeves – as chosen by the designers:

http://www.theguardian.com/artanddesign/2016/sep/22/the-greatest-record-sleeves-as-chosen-by-the-designers?CMP=Share_AndroidApp_Copy_to_clipboard

 




Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Categories

Blog Stats

  • 162.256 hits