Dan sampailah kita di sini, di mana 2019 tinggal menghitung mundur tidak hanya habisnya dirinya tetapi juga keseluruhan dekade yang sejak lama mengikutinya. Saatnya menghapuskan lelah dari hari-hari yang membentuk tahun ini. Di sana mungkin ada kesuksesan dalam ketidakpastian, ada kenikmatan dalam kegamangan, ada harapan di tengah kekacauan. Dalam narasi yang mengiringi semua itu dalam kehidupan saya tahun ini, dan juga mungkin kalian, selalu ada alunan yang menyertai. Yang tanpa sadar kita senandungkan di pagi hari kala menumpang moda raya terpadu, atau yang dengan penuh kepuasan mengiringi tarian malam hari di dalam gelap yang melindungi kita dari ketidakpastian esok hari. Seluruh alunan itu seperti bahan bakar akan sesuatu yang baik yang akan selalu terjadi dalam kehidupan ini. Di bawah ini adalah alunan-alunan favorit saya tahun ini dalam bentuk album dan lagu. Terima kasih 2019.
Album:
Pikiran dan Perjalanan – Barasuara
Dari dalam gelap mereka kembali. Walaupun dalam kasus Barasuara, mereka selalu memberikan api dan lentera dalam planet musik nasional. Album kedua Barasuara seperti menjawab kegelisahan banyak orang di penghujung dekade ini, tentang memikirkan cara menyambung nyawa bumi ini, tentang menyatukan haluan tanpa memiliki pikiran populis, tentang bangkit berjalan lalu melawan apapun yang sedang menghalangi kita. Dan semuanya dibalut dengan musik yang terdengar ambisius dan menjadikan mereka salah satu anugerah terbaik yang pernah kita nikmati sebagai manusia bumi pertiwi.
Everyday Life – Coldplay
Salah satu miskonsepsi saya tentang Coldplay (atau mungkin beberapa orang lainnya), adalah mengharapkan mereka menjadi Radiohead atau U2 berikutnya, hanya saja mereka tidak akan pernah menjadi sama seperti kedua band itu (Terlepas dari rekor konser-konser bombastis yang mereka lakukan). Sehingga hampir setiap band ini mengeluarkan album, ada sebersit kekecewaan karena kesederhanaan musiknya ataupun karena usaha mereka mengawinkan elemen musik kekinian dalam lagunya. Tetapi jika pikiran itu dikesampingkan, dan yang dilakukan adalah hanya memeluk kesederhanaan musik tersebut, Coldplay berubah menjadi band terbaik dekade ini. Itu yang saya rasakan mendengarkan Everyday Life, kesederhanaan itu menohok dan mengalun tenang dalam pikiran, menjadikannya parasut yang menyelamatkan kita dari gravitasi hidup yang seringkali menarik kita terlalu tajam.
The Greatest Ever – Elephant Kind
The Greatest Ever adalah sebuah klaim yang sangat berani untuk judul sebuah album, namun tidak bisa disangkali judul tersebut sesuai, paling tidak untuk semesta Elephant Kind. Ini adalah karya yang paripurna, pop dalam elemen terbaiknya. Dengarkan saja I Believe In You, Watermelon Ham, atau lagu terbaik menurut saya dalam album ini, Better Days. Pejamkan mata, biarkan suara itu menguasai semua indra kalian, dijamin kalian akan merasakan perasaan paling hebat yang pernah ada, dan untuk itu Elephant Kind telah melakukan pekerjaan terbaik mereka.
Everything Not Saved Will Be Lost, Part 1 & 2 – Foals
Apakah memasukkan 2 album yang dirilis terpaut 7 bulan di tahun yang sama menjadi sebuah kesatuan adalah sebuah kecurangan? Faktanya saya tidak pernah dapat mendengarkan 2 album ini menjadi 2 entitas berbeda. Keduanya saling melengkapi seperti layaknya sebuah double album. Dalam part 1, kita akan dibuai dengan keabsurdan Exits, dan keagungan Sunday. Dalam part 2 The Runner dengan bombastis mengingatkan kita Foals adalah salah satu produk GB terbaik dekade ini. Ketika kedua album itu ditutup dengan Neptune yang berdurasi sepanjang 10:18, itu adalah ajakan Foals untuk mengikuti mereka, meninggalkan segala yang telah ada, menyambut segala yang baru “See me when I float like a dove, the skies above are lined with trees, I’m on my knees, begging please. Come and take me away, come and take me away”.
Why Me, Why Not? – Liam Gallagher
10 tahun sudah Oasis membubarkan diri. Dalam 10 tahun tersebut, kakak-beradik Gallagher tidak pernah menghilangkan jejaknya dari tapak musikalis kita. Keduanya tetap bersaing melontarkan hook demi hook, seperti layaknya juara kelas berat yang belum rela melepas sabuk juaranya. Why Me, Why Not? adalah serangan termutakhir Liam, dan betapa tidak mengecewakannya hal itu. Album itu diawali dengan Shockwave, dan sesuai judulnya keseluruhan album itu adalah gelombang kejut tanpa henti. Lagu – lagu seperti Once dan One Of Us adalah instan klasik yang pantas disandingkan dengan karya band mereka sebelumnya. Jika ini adalah sebuah pertarungan tinju mempertaruhkan juara kelas berat, maka Liam dengan sukses mempertahankannya lewat Why Me, Why Not? Noel, kami semua menunggu langkahmu selanjutnya.
Menari Dengan Bayangan – Hindia
Sesungguhnya Menari Dengan Bayangan adalah salah satu karya paling personal dan jujur dari seorang penyanyi/penulis lagu yang pernah saya nikmati. Dengan berani Baskara Putra memperdengarkan 3 voice note orang-orang yang dekat dengan dirinya sebagai bagian dari albumnya, dan itu semua tidak terdengar canggung tetapi merupakan bagian integral yang menambah keindahan album ini. Musik sudah seharusnya memberi harapan, menjadi jawaban terhadap segala macam kekisruhan dengan kejujuran dan keterbukaan yag ditawarkannya, Menari Dengan Bayangan melakukan itu. Waktu mendengarkan album itu pertama kali sambil berjalan di trotoar Sudirman pada sebuah Jumat malam, pemutar musik saya sampai pada lagu Mata Air, dan waktu saya mendengarkan “Hidup bukan untuk saling mendahului, bayangan yang diciptakan oleh mentari ada karena matahari bermaksud terpuji, untukmu cintai diri sendiri hari ini…Mata Airmu ada di sini, Mata Airmu diri sendiri, temukan makna hidupmu sendiri, menarilah dengan bayangan diri sendiri” saya merasa terbebas, sebebas-bebasnya. Untuk momen itu saya berterimakasih kepada Hindia dan album ini.
Kiwanuka – Michael Kiwanuka
Sejujurnya musik Michael Kiwanuka bukanlah tipikal musik yang saya dengarkan sehari-hari. Saya menemukannya ketika dalam sebuah perjalan pulang kantor di atas moda raya terpadu membaca ulasan The Guardian yang mengatakan album ini adalah “one of the greatest albums of the decade”. Didorong rasa penasaran, saya lalu mendengarkannya. Semenjak You Ain’t The Problem (lagu pertama album itu) menendang gendang telinga saya, jiwa saya tersentak. Lantunan gospel di I’ve Been Dazed “The Lord said to me, time is a healer, love is the answer, I’m on my way”, mungkin akan terdengar picisan jika salah disampaikan, tetapi dalam album ini, itu terdengar seperti sebuah terapi yang membebaskan. Hero dan Final Days mengkonklusikan bahwa Kiwanuka memang bukan saja salah satu album terbaik tahun ini, tetapi salah satu tapal batu dalam dekade yang kadang terasa melelahkan ini.
I Am Easy To Find – The National
Sudah lama musik The National berfungsi sebagai terapi paruh baya untuk saya. Tidak terkecuali I Am Easy To Find. Album ini seperti sebuah penangkal kegelisahan dari hari ke hari. Dari awal cumbuan elektronika You Had Your Soul With You, sampai dentingan piano terakhir Light Years, mereka meneropong kita dari terowongan, memberikan berkas-berkas cahaya untuk menyinari hari-hari kelam, sampai akhirnya kita menemukan sumber cahaya tersebut.
Bani Bumi – Polka Wars
Jika seluruh kekalutan manusia dapat dijawab melalui musik, mungkin Bani Bumi bisa menjadi templatnya. Kesedihan, atau apapun bentuk perasaan negatif manusia perlu dimengerti agar dapat memprosesnya. Bani Bumi seperti sebuah proses tersebut. Mendengarkan Fatamorgana atau Avatar kita akan jatuh sebentar ke dasar kesedihan tersebut, sebelum pelan-pelan diangkat perasaan semangat yang meliputi album tersebut. Suar mendekati kita ke sepercik cahaya dengan ritmik positif yang mengiringinya. Ketika kita sampai di Temaram, kita merasa damai, disemaikan melodi-melodi nyaman yang tidak hanya membuai di lagu tersebut, namun di keseluruhan karya magis Polka Wars ini.
This Is Not A Safe Place – Ride
Jika pada tahun 2009, seseorang bilang ke saya bahwa Ride akan merilis 2 album di dekade berikutnya mungkin saya akan menganggap orang tersebut sudah tidak lagi sepenuhnya waras. Namun itulah yang terjadi. Setelah Weather Diaries di tahun 2017, pentolan shoegaze itu merilis This Is Not A Safe Place tahun ini. Dan betapa agungnya kedatangan kembali tersebut. Dengan repertoar lagu seperti Future Love, Cloud Of Saint Marie, dan Eternal Recurrence; Ride tidak hanya kembali ke teritori mereka sebagai sebuah band yang memperkenalkan perasaan eteral ke lagu-lagu mereka, tetapi tetap memuktahirkan musik mereka sehingga terdengar aktual di dekade ini. Mudah-mudahan hal ini berlanjut ke dekade berikutnya, tetapi jika hal tersebut tidak pernah terjadi legasi mereka tetap akan aman dengan This Is Not A Safe Place.
Lagu:
You Ain’t The Problem – Michael Kiwanuka
You Ain’t The Problem adalah sebuah pernyataan dari Michael Kiwanuka, bahwa di tahun 2019 musik masih dapat menggugah jiwa, menjadi kompas kehidupan dengan alur ketukan bas drum yang menggiurkan dan kesederhanaan nyanyian “La la la la…” ceria tanpa beban.
Better Days – Elephant Kind, feat. Heidi (The Girl with the Hair)
Mendengarkan Better Days adalah membayangkan hari terbaik di Jakarta tanpa segala kemacetan, kebisingan dan keribetan yang mengelilinginya. Yang ada hanyalah tawa orang-orang terbaik di sekelilingmu, mengendarai mobil dengan atap terbuka menembus Sudirman dengan langit cerah tanpa asap dan harapan baik yang akan datang.
Silver – DMA’s
Sebuah artikel yang saya baca dalam perjalanan pulang-pergi kerja mengantarkan saya pada band asal Sydney yang bulan November lalu menjadi band pembuka tur Liam Gallagher di Britania Raya. Memadukan melodi indipop layaknya datang dari The Stone Roses ataupun The Charlatans, Silver adalah sebuah lagu yang layak menjadi klasik britpop jika saja ia dirilis 2 dekade lebih lawal. Terlepas dari semuanya britpop ataupun tidak, lagu ini adalah kelas.
The Runner – Foals
Ada 2 sisi Foals yang selalu saya kagumi yang juga diulang di dua bagian Everything Not Saved Is Lost. Yang pertama adalah sisi melodik absurd seperti pada Exits, yang kedua adalah tipe lagu seperti The Runner. Entah mengapa, cara Yannis Phillipakis menyanyikan lagu ini dan pendekatan Foals memainkannya seperti sebuah sebuah serangan pasif agresif yang dibungkus oleh nada-nada yang ingin berlari menembus segala apapun yang dilawan jiwa. Dan di situlah letak istimewanya The Runner.
This Life – Vampire Weekend
Kembalinya sebuah band setelah lama tidak berkarya, dapat didekati dengan 2 cara. Skeptis atau dengan tangan terbuka lebar seperti bertemu sebuah kawan baik yang lama tidak dijumpai. Dalam kasus Vampire Weekend, yang terjadi adalah hal kedua. 6 tahun berlalu sejak Modern Vampires Of The City, dan ketika kita mendengar lagu seperti This Life dari album terbaru mereka Father Of The Bride, itu seperti mereka tidak pernah pergi. Kenyamanan berada bersama mereka datang kembali, dan kita pun tersenyum bahagia ketika mereka kembali menemani dalam setiap seruput cangkir kopi yang kita minum.
Orphans – Coldplay
Jangan pernah menganggap Coldplay adalah U2 ataupun berharap mereka membuat lagu seperti Radiohead. Serap saja kesederhanaan dan keindahan melodi dalam setiap lagu mereka. Jika itu yang terjadi, maka kita akan tersenyum bahagia dan menari bersama lagu itu tidak peduli sedang sepedih apa hari yang sedang dilalui. Di situlah letak Coldplay di kehidupan kita, ia membuat banyak orang bahagia, dan Orphans adalah salah satu contohnya.
Future Love – Ride
Perasaan etereal itu muncul kembali. Ketika kita mengawang gamang tetapi lepas dari segala sesuatu yang mengikat jiwa. Waktu melodi-melodi Future Love menyentuh sanubari terdalam kita, gita bergema dalam hati, dan itu adalah sumbu yang selalu membakar kita untuk terus berjalan seperti lirik yang didengungkan lagu ini “You’ve Got Me Going..”
No One Told – Gabriel Mayo
Gabriel Mayo adalah sebuah penyegaran, No One Told yang diambil dari albumnya In Between yang dirilis September 2019 lalu, adalah salah satu jejak pernyataan tersebut. Dengan suara gitar renyahnya lagu ini seakan membawa kita ke dalam sebuah road trip yang sempurna di mana yang ada adalah pacuan rasa bahagia dan di mana keresahan dipudarkan. Perasaan seperti itu adalah perasaan yang diberikan sebuah lagu pop mumpuni.
Mata Air – Hindia, feat. Natasha Udu, Kamga
“Jika kau pernah tersakiti, angkat tangan
Jika kau pernah menyakiti, angkat tangan
Jika kau pernah bahagia, angkat tangan
Jika kau pernah kecewa, angkat tangan”
Lagu ini adalah sebuah perayaan dirimu sebagai manusia, TITIK.
Tarian Penghancur Raya – .Feast
Selain konteksnya yang mengkritik apapun yang perlu dikritik dalam zaman kebablasan populisme ini, Tarian Penghancur Raya menghadirkan permainan kata-kata tingkat dewa, dengarkan saja silat kata “Trotoar lebar, bahan hijau, Tesla, kalah cepat disalip kuda Asia, tewas di lampu merah, garis zebra, Efek Rumah Kaca tiba-tiba suddenly di mana-mana”. Waktu pertama kali mendengarkannya saya tersenyum geli, dan memuji kejeniusan lagu ini dalam hati. Jika ini cara kita memprotes dalam bentuk sebuah seni, hendaklah Tarian Penghancur Raya menjadi formatnya.
Pancarona – Barasuara
Barasuara adalah mercusuar musik nusantara saat ini. Dengan Pikiran dan Perjalanan mereka tidak hanya melanjutkan kegemilangan yang ada pada Taifun, tetapi memperlebar spektrum musik mereka, dan di tengah semua itu terdapat Pancarona. Kelirihan awal lagu ini, membuat klimaks yang terjadi di tengah lagu tersebut ketika judul lagunya pertama kali dinyanyikan menjadi lebih tajam menembus sanubari. Ketika mengingat 2019, kita akan mengingat bahwa Barasuara telah memberikan kita sebuah lagu mengagumkan berjudul Pancarona.
Once – Liam Gallagher
Liam Gallagher selalu memproklamasikan dirinya sebagai spesies terakhir seorang bintang Rock n’ Roll, dan dalam banyak kesempatan hal itu benar adanya. Namun yang lebih benar adalah dia mendewasakan dirinya lewat karya-karyanya yang bertempo lebih lambat daripada lagu-lagu dalam segmen tersebut. Once adalah sebuah balad paling indah pasca Oasis yang pernah diproduksi oleh seorang Liam Gallagher. Tentang hari-hari indah yang menyinari kehidupan dan inspirasi terdahulu yang terus mengiringi kehidupan kita.
Sail On – Noel Gallagher’s High Flying Birds
Hidup seringkali tidak adil terhadap kehidupan beberapa individu yang menghiasinya. Terkadang itu menjadi beban, sampai kita sulit bernafas dan tidak melihat adanya jalan keluar. Namun untungnya hidup juga memberikan kita seorang Noel Gallagher. Ia selalu dapat memberikan kemenangan kecil terhadap kehidupan, dan harapan untuk kembali melangkah. Sail On tidaklah terkecuali, dengarkan saja lirik lagu ini,
“While you’re sick and tired of feeling sorry for yourself
Life will cheer you up and spit you out and put you on the shelf
And you will wake up every morning expecting to be free
You’ve gotta float on”
Walaupun tidak sirna dalam sekejap, namun di balik awan gelap itu terdapat sebersit sinar mentari yang memberikan kehangatan pada wajah kita, pada kehidupan.
Batas – L’alphalpha
Dirilis pertengahan Desember 2019, lagu ini adalah yang terakhir masuk ke daftar ini. Sebegitu impresifnya lagu ini, sehingga saya harus mengorbankan lagu lainnya untuk dikeluarkan dari playlist ini. Ketika gitar itu menembus jiwa dari menit 1:40 ke atas, disusul dengan alunan “Dan kau temukan, semua jawaban dalam hatimu, lampai batas” lagu ini terdengar seperti mantra untuk menjadi sendiri dan menjadi lebih baik, melawan rasa takut, memilih antara sisi terang dan gelap. Dengan Batas L’alphalpha telah kembali, dan mereka kembali dengan sebuah ledakan.
Parak – Polyester Embassy
Parak adalah lagu yang menandai kembalinya Polyester Embassy sebelum mereka merilis sebuah EP di tahun 2020. Tetap setia dengan elemen suara yang menjadi ciri khas mereka, ada satu hal yang berubah di lagu ini. Perpaduan gitar dan synth itu kini dibalut dengan lirik berbahasa Indonesia yang menambah keintiman Parak akan sebuah harapan “Semoga esok kan gemilang” kata lagu ini di akhirnya, dan bersamaan dengannya kegemilangan Polyester Embassy akan berlanjut.
Erotika – Goodnight Electric
Waktu pertama kali mendengarkan lagu ini, saya tidak berhenti dengan rasa kagum akan keluaran musik asal negeri ini. Erotika adalah kelas, sebuah elektro pop dari kasta tertinggi yang mengajak kita berdansa dengan ritmik yang menggelorakan jiwa. Di sana ada elemen New Order tetapi itu tidak terasa asing tetapi memberikan identitas nasional kepada musik Goodnight Electric terbaru ini. Setelah 4:22 menit menikmati lagu ini, saya tenggelam dalam relung rahasia Goodnight Electric melalui Erotika.
Borderline – Tame Impala
Di tengah kekacauan dekade ini, ada suara-suara yang mengijinkan kita untuk bermimpi dan mengatakan semauanya baik-baik saja. Dalam banyak kesempatan suara-suara itu datang dalam wujud lagu-lagu Tame Impala. Dengan musik dan vokal yang menghipnotis, Borderline membawa kita ke dalam perasaan itu. Bahwa untuk beberapa saat, hidup kita berhenti di sebuah musim panas, tidak ada kegamangan, yang ada adalah kesempurnaan hidup walaupun itu semua hanya berdurasi empat setengah menit lamanya.
Empires – Elbow
Intro lagu ini sebegitu hebatnya, sehingga ia menghantui saya baik ketika sadar maupun tidak. Keagungannya berputar di dalam kepala diiringi suara bass Guy Garvey yang menyanyikan “Baby, empires crumble all the time…”. Apakah ini referensi terhadap brexit, apakah ini referensi terhadap keruntuhan ego pribadi yang seringkali hancur di tengah kehidupan? Tidak ada yang tahu. Empires adalah testimoni Elbow sebagai sebuah band papan atas Inggris yang selalu menghasilkan karya-karya hebat dan itu sudah berlangsung selama lebih dari 2 dekade. Untuk itu kita layak mengangkat topi untuk mereka.
Fatamorgana – Polka Wars
Pilu adalah harapan baru. Tanpa kekalutan kita tidak pernah merasakan kemerdekaan yang paripurna. Lewat Fatamorgana, Polka Wars merangkum keresahan tentang sebuah asa yang ternyata bukanlah tujuan akhir kehidupan, tentang ilusi yang dijajakan tanpa basis kemanusiaan. Sesuai judulnya, yang terlihat di permukaan belum tentu selalu indah, kadang kita harus menggali jiwa sedalam-dalamnya sampai kita menemukan sesuatu yang hakiki untuk meneruskan tujuan.
Light Years – The National
Dan sampailah kita di akhir segalanya. Hari terakhir dari semua usaha yang telah kita raih. Sambil memejamkan mata, matahari sore menyinari wajah kita, di headphone lagu terakhir dari album I Am Easy To Find ini mengalun, dengan pianonya yang berulang-ulang melakukan sinkronisasi harmonis antara keresahan dan kebahagiaan kita. Pelan-pelan malam menyapa, cahaya berganti menjadi gelap, namun di tengah semuanya kita tetap terdiam. Menyadari bahwa kita telah menemukan keseimbangan, dan semuanya akan baik-baik saja.
David Wahyu Hidayat
Komentar Terbaru