11
Mei
09

Pencerahan Jiwa: Saya ingin dipuja dan saya adalah kebangkitan – 20 Tahun debut album The Stone Roses

The Stone Roses LP

Di sebuah pagi buta di tahun 1997, seorang muda menatap datangnya fajar dengan sebuah senyuman terbersit di bibir. Aroma optimisme terhirup di tengah-tengah pagi yang masih perawan itu. Ia baru saja menyelesaikan masa SMA-nya, hendak meninggalkan semua kenaifan di belakangnya, dan melangkah ke dalam ketakjuban kehidupan yang terbentang menunggu di depannya. Semuanya terasa sempurna, di tempat yang benar pada waktu yang tepat.

Sebuah suara menyentak kupingnya melalui walkman yang sedang didengarnya. Suara itu adalah suara dengan nada-nada penuh kebanggaan, seperti terlihat dengan jelas kalau yang bernyanyi adalah seorang yang penuh keyakinan, yang percaya bahwa bandnya akan menjadi band pertama yang akan menggelar konser di bulan. Suara yang ia dengar saat itu adalah suara Ian Brown, dan pagi itu untuk pertama kalinya ia memutuskan untuk jatuh cinta dengan The Stone Roses, dan tidak dapat berpaling lagi dari musik mereka yang menginspirasikan jejak langkah kehidupannya selanjutnya.

Tahun 1997 pra “Be Here Now” adalah masa di mana Britpop menghembuskan nafas kehidupan penuh kepercayaan diri kepada generasi muda waktu itu. Lalu seperti juga kebanyakan manusia lainnya, diri ini menemukan pahlawan abadinya dalam Oasis, sebuah band yang sampai sekarang menempati kosmos utama dirinya karena inspirasi yang telah mereka berikan. Beberapa minggu sebelum pagi yang sudah ditakdirkan itu, seorang teman berkata demikian “Vid, kalo lo segitu sukanya sama Oasis, lo harus dengerin The Stone Roses. Kalau ga ada The Stone Roses, ga bakalan ada Oasis”.

Penasaran dengan perkataan temannya tersebut, ia memberikan dirinya sendiri untuk membeli sebuah kaset dari band yang konon legendaris tersebut, sebuah kompilasi berjudul “The Complete Stone Roses”. Keesokan harinya, di pagi – pagi buta tersebut, ia mendapati dirinya sendiri terpana. Tidak percaya akan apa yang ia dengar sendiri, karena musik yang ia rasakan dalam hatinya dan didengar telinganya adalah sebuah keajaiban. Ia meneliti semua lagu-lagu yang ada di situ satu persatu, ia baca berulang-ulang sleeve note yang melengkapi kaset tersebut, yang ditulis oleh seorang jurnalis bernama John Harris, dan ia terus menerus merasakan keajaiban, tumpuk menumpuk seperti merasakan sebuah keajaiban dunia terjadi di hadapannya saat itu.

Dari saat itu, ia satu persatu mengumpulkan semua karya band tersebut, dan sampailah  saat di mana ia memegang debut album The Stone Roses untuk pertama kalinya. Saat itu, ia berada jauh di tengah – tengah eropa untuk melanjutkan studinya. Satu dekade telah lewat ketika The Stone Roses merilis debut album itu. Ia tidak menyalahkan dirinya. Tahun 1989, ia masih memikirkan hal lain dibanding mengagumi mahakarya sebuah band asal Manchester. Namun saat ia memiliki debut album itu, ia tidak bisa melepaskannya lagi dan berniat untuk selalu hidup dalam keajaiban suara itu.

Stone Roses

The Stone Roses performing at Granada in January 1989 © Ian Tilton / RetnaUK Credit all uses

Mendengarkan debut album itu untuk pertama kalinya, memberikan sensasi lain yang tidak ia dengar dalam “The Complete Stone Roses”. Dimulai dari intro gaib menuju psikedelia “I Wanna Be Adored”, ia menyadari di belakang suara agung Ian Brown ada kemagisan gitar John Squire. Di balik keajaiban gitar Squire ada perpaduan groove yang solid dari Mani dan Reni seperti yang terdengar dalam “She Bangs The Drums”. The Stone Roses adalah cetak biru sebuah band yang punya segalanya, yang tidak takut untuk bersanding dengan U2 dalam segala kebesarannya.

Sore demi sore, malam demi malam ia lewati dengan album mengagumkan itu. Duduk termenung, terpukau oleh setiap pencerahan yang ia dengar dalam “Made Of Stone”, kesempurnaan pop “(Song For My) Sugar Spun Sister”, atau pun arogansi tersembunyi dari “This Is The One”. Ribuan kopi ia habiskan bersama album itu, dengan mata berbinar-binar berusaha menjelaskan keajaiban yang ia alami waktu mendengarkan nada-nada tersebut. Beberapa orang dekatnya lalu mengakui keajaiban itu, beberapa orang lain, lalu begitu saja tanpa mengacuhkan.

Pada suatu kesempatan yang terpisah, di tempat ia tinggal waktu itu, masih di sentral Eropa, ia bertemu dengan seorang mahasiswa asal Inggris, dan mahasiswi asal Jepang. Kami, tiga orang yang berlatar belakang berbeda itu, menemukan titik temu di sebuah frekuensi yang sama, dan gelombang itu bernama “The Stone Roses”. Ia masih ingat menghabiskan seharian penuh waktunya dengan mereka membicarakan suara gitar Squire yang menggelitik nakal pada “Shoot You Down”, atau pun kedamaian minggu sore “Waterfall”. Bila mereka membicarakan “The Stone Roses”, mata mereka berbinar-binar, hati mereka meluap penuh kebahagiaan yang sulit untuk bisa dideskripsikan. Bila ia melihat wajah-wajah mereka, dan orang-orang lain yang punya perasaan yang sama tentang album itu, ia tahu bahwa “The Stone Roses” mempunyai arti yang sama dalam diri mereka.

Ia teringat ketika memutar debut album itu untuk pertama kalinya, dan urutan album itu menyentuh detik – detik pertama “I Am The Resurrection” ia mencoba untuk tidak mempercayai apa yang ia dengar. Itu adalah untuk pertama kalinya ia mendengar lagu itu dalam seluruh kepenuhannya. “I Am The Resurrection” adalah kesempurnaan. Ia memiliki nada yang melantun manis untuk disiulkan setiap pagi, ia mempunyai reff yang membuat kita melayang menembus atmosfir, dan yang menjadi pemungkas adalah keepikan outro lagu tersebut. Di sana, Ian, John, Reni dan Mani membuktikan kalau mereka adalah sebuah band yang solid. Sampai saat ia mendengar lagu itu, belum pernah ada lagu lain yang menyentuhnya seperti “I Am The Resurrection”. Lagu itu  membuatnya terharu akan kesempurnaannya. Diawali dengan bas melodik Mani yang memulai outro instrumental tersebut, disusul dengan ketajaman gitar Squire yang akhirnya memberikan kita pahlawan gitar yang selama ini kita tunggu – tunggu. Reni menyetir semuanya dengan permainan drumnya, sementara Ian dalam khayalan kita masing-masing, memainkan perkusinya seperti terlihat dalam rekaman konser legendaris di Blackpool, atau berdansa seperti seorang raja monyet yang kegilaan penuh bahagia. Lalu apakah yang kita rasakan? Kita tidak lagi merasakan apa – apa. Yang ada hanyalah kebahagiaan. Apa yang namanya musik diawali dari akhir debut album The Stone Roses ini. Yang kita rasakan adalah nirwana, kesempurnaan sebuah band dan musik yang mereka mainkan.

kevin_cummins_roses_02

The Stone Roses, Pic by Kevin Cummins

20 tahun setelahnya, semua itu masih kita rasakan. Setiap detik warna-warni dari album tersebut, setiap alur nada yang mengajak kita untuk berdansa, kemajestikan suara Ian Brown dalam kepercayaan dirinya. Semua itu tidak akan pernah dapat dipadamkan. Di debut album itu The Stone Roses telah menciptakan sebuah mahakarya yang melewati batas tempat dan waktu, bahkan sepertinya bila album itu baru dirilis saat ini, ia akan terdengar sama ajaibnya seperti 20 tahun yang lalu. The Stone Roses adalah kebangkitan yang telah menciptakan sebuah keajaiban, dan debut album itu adalah monumen yang akan mengabadikan mereka dalam jejak langkah setiap legenda musik sebelum mereka.

David Wahyu Hidayat


2 Tanggapan to “Pencerahan Jiwa: Saya ingin dipuja dan saya adalah kebangkitan – 20 Tahun debut album The Stone Roses”


  1. 1 Apriyadi
    Juni 21, 2009 pukul 7:46 pm

    GReat MANCHESTER Sound..
    Feel Like A Heaven sound..
    and The Greatest Albums in the world..

  2. 2 ijoen_pop
    Juni 26, 2009 pukul 11:10 am

    album yg ga akan pernah gw jual…
    so glad that i’m having it..


Tinggalkan komentar


Mei 2009
S S R K J S M
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
25262728293031

Categories

Blog Stats

  • 162.256 hits