19
Mar
23

Ulasan Konser – Arctic Monkeys, Ancol Beach City, Jakarta, 18 Maret 2023

Arctic Monkeys, Ancol Beach City Jakarta, 18 Maret 2023

Arctic Monkeys
Ancol Beach City, Jakarta – 18 Maret 2023

Setlist:
Sculptures Of Anything Goes, Brianstorm, Snap Out Of It, Crying Lightning, Don’t Sit Down ‘Cause I’ve Moved Your Chair, Why’d You Only Call Me When You’re High, Four Out Of Five, Arabella, From The Ritz To Rubble, Cornerstone, I Ain’ t Quite Where I Think I Am, Do I Wanna Know?, Teddy Picker, Tranquility Base Hotel & Casino, Knee Socks, Pretty Visitors, I Bet You Look Good On The Dance Floor, Body Paint. Encore: There’d Better Be A Mirrorball, 505, R U Mine?

Ulasan:

Sabtu 18 Maret 2023 Ancol Beach City di utara Jakarta. Perjalanan menuju ke sana adalah perjalanan panjang penuh penantian dan bukan hanya disebabkan oleh lalu lintas ibukota yang memang laknat.

Tergantung dari kapan kalian menghitung, 17 tahun dari debut album Arctic Monkeys, atau 10 tahun dari AM, album yang mentahbiskan mereka sebagai salah satu band terpenting generasinya; menghadiri konser mereka di tanah air seperti satu hal yang mustahil, ditambah lagi pandemi 3 tahun terakhir dan pergulatan mendapatkan tiketnya ketika diumumkan Desember lalu. Kesempatan menonton mereka terus menipis seperti lapisan es kutub utara tergerus pemanasan global. Namun harapan adalah instrumen terbaik yang dimiliki manusia, dan karena harapan kita semua berdiri di Ancol Beach City, menyaksikan Arctic Monkeys membawakan suara pengharapan generasi yang memimpikan mesiasnya.

Memulai konser mereka dengan Sculptures Of Anything Goes, Arctic Monkeys seperti menebarkan sebuah kidung kepada jemaatnya yang menanti dalam euforia yang tidak dapat lagi dibendung. Suasana khidmat itu lalu berubah ketika serangan guruh menerpa Ancol Beach City, karena Brianstorm lalu menyusul sebagai lagu kedua. Nyanyian massal bercampur ekstase dengan adrenalin bervoltase tinggi menyapu ruangan konser malam itu. Arctic Monkeys sang penyelamat menjadi satu dengan kita semua yang diselamatkan. Suasana euforia itu disusul dengan aluran perayaan malam minggu dalam Snap Out Of It, sebelum dihantam lagi dalam badai bernama Crying Lightning.

Tata suara Ancol Beach City dengan solid membalut sempurna penampilan Arctic Monkeys yang tanpa cela. Variasi lagu yang dibawakan dari ketujuh album mereka, dirayakan dengan setimpal, masing-masing dengan caranya sendiri. Lagu-lagu AM seperti Why’d You Only Call Me When You’re High, Arabella atau Do I Wanna Know? dirayakan selayaknya ini adalah 2013 jauh dari segala kecemasan 2020an, sedangkan lagu dari 2 album mereka terakhir seperti Four Out Of Five dan I Ain’t Quite Where I Think I Am menemukan jiwanya dimainkan secara langsung, membuktikan bahwa Arctic Monkeys adalah band yang terus berevolusi dan tidak takut untuk melakukan eksplorasi musikalis baru.

Lain lagi saat Cornerstone dibawakan, rona nostalgia dari sebuah mesin waktu merebak ke seluruh sudut Ancol Beach City disirami cahaya ponsel yang berpendar dengan magis. Nomor-nomor klasik dalam wujud From The Ritz To The Rubble dan Teddy Picker meningkatkan level desibel malam itu, dengan lonjakan sinkron para penonton yang menggetarkan ruangan konser.

Set utama mereka disudahi secara epik dengan Body Paint, namun satu lagu sebelumnya ketika malam mengantarkan kita semua sampai pada I Bet You Look Good On The Dance Floor, segala emosi tumpah di sana. Arctic Monkeys telah membuat mereka yang hadir di Ancol Beach City menjadi orang paling bahagia di muka bumi dan tidak ada sesuatu pun yang dapat merebut perasaan itu dari mereka.

Setelah jeda beberapa saat, mereka kembali dengan membawakan There’d Better Be A Mirrorball. Lagu yang layak dijadikan OST film spionase ini dimainkan secara presisi, penuh keangungan seperti ketika mereka memulai konser ini. Tepat saat lagu ini berakhir sebuah mirror ball menggantung di atas Arctic Monkeys memancarkan cahaya ke seluruh ruangan, bersamaan dengan itu suara drum metronomik dan organ ala Ennio Morricone terhantar menandai awal dari 505. Aransemen baru 505 ini membuatnya lebih dinamis, melankolia yang kental dengannya sekarang berkamuflase menjadi lagu pengantar dansa di malam minggu yang hampir berakhir, penuh penyesalan akan sesuatu yang hendak usai tapi sekaligus memberikan asa.

Pamungkas 18 Maret 2023 di Ancol Beach City adalah R U Mine. Tidak ada lagi yang dapat disembunyikan, segala penantian, harapan akan dapat melihat langsung Arctic Monkeys tercurah semuanya di lagu ini. Ketika musik sesaat berhenti di tengah lagu dan Alex Turner di bawah sorotan lampu mengangkat stand mikrofon di atas kepalanya, kita semua tahu, kita telah menyaksikan rock ‘n’ roll dalam salah satu wujud terbaiknya, dibawakan oleh band yang dapat dibilang terbaik di generasinya, pembela musik gitar Inggris, mesias musikalis kita: Arctic Monkeys, terima kasih!

David Wahyu Hidayat.

15
Agu
21

20 tahun Is This It oleh The Strokes – sebuah monumen untuk fantasi rok n rol terakhir

Di manakah kalian pada musim panas 2001? Ketika abad 21 baru seumur jagung, ketika kita masih naif bahwa optimisme 90-an masih akan membawa kita menuju sebuah harapan yang baru. Lalu tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, semua itu dihancurkan seketika oleh 9/11. Tidak perlu menjadi warga negara AS, untuk menyadari bahwa milenium baru ini akan berbeda dari dekade yang telah kita lewati semuanya. Tidak ada lagi hedonisme berbau sinar matahari ala britpop, tidak ada lagi rave yang berkepanjangan, semuanya surut digantikan gambaran kelam akan kontrol sipil yang lebih ketat, dan kegamangan dunia virtual yang menyertainya. Dan musik? Wujudnya saat itu datang dalam melodi akustik melankolik atau perpaduan rap dan metal yang dikenal dengan numetal. Jika inspirasi yang dicari dari dalamnya, maka hal itu seperti menghantam tembok dengan frustasi, penuh amarah tanpa sebab.

Namun sebenarnya, kurang lebih sebulan dari runtuhnya menara kembar  di New York itu, sesuatu yang mengguncang indera datang dari kota yang sama. Ia direpresentasikan oleh 5 pemuda yang namanya layak terdaftar dalam akhir kredit sebuah film mafia; Julian Casablancas, Nick Valensi, Albert Hammond Jr., Nikolai Fraiture dan Fabrizio Moretti. Mereka adalah The Strokes, dan album debutnya Is This It dirilis 20 tahun yang lalu di tengah-tengah musim panas yang mengubah tatanan dunia untuk selamanya.

Is This It adalah sebuah awal yang baru, dan The Strokes adalah kelahiran kembali musik gitar yang menginspirasikan. Seketika, seluruh generasi menemukan pahlawannnya kembali, tidak peduli apakah mereka di New York, Tokyo, Berlin, London atau Jakarta. Semua pemuda ingin membuat band seperti The Strokes, atau paling tidak berpakaian seperti mereka. Setiap pemudi di permukaan bumi memuja mereka. Dan ini bukan tanpa sebab. Debut album 5 pemuda New York itu adalah antitesis dari band bermelodi kelam/akustik yang mulai bermunculan saat itu seperti Starsailor, dan mereka tidak menyombongkan diri tanpa kejelasan seperti numetal, namun Is This It  menggapai semua fantasi kesempurnaan sebuah album.

“Imagine you took a time machine into the future and found a classic album from way in the past and really liked it”, dengan kata-kata itulah Julian Casabalancas menginstruksikan Raphael Gordon untuk memproduksi debut album The Strokes. Direkam di studio Transporterraum New York pada Maret – April 2001, kata-kata itu menjadi kenyataan dalam Is This It. Dalam hanya 36 menit; dimulai dengan alunan bas menggoda dalam lagu pertama bertajuk sama dengan albumnya, ketukan dan raungan gitar intens dalam The Modern Age, rok n rol kotor New York City Cops, indie pop melodik dalam Someday dan milenial klasik Last Night; The Strokes menyelamatkan music rock dan menjadi pahlawan baru sebuah generasi.

Seberapa pun kita meragukan The Strokes sebagai para pemuda kaya penuh hak istimewa, kita tidak bisa memungkiri fakta bahwa setiap kali lagu dari Is This It diputar pada malam indie setiap klab, lantai dansa itu akan dipenuhi manusia yang menemukan ekstasenya kembali. Album ini membuka jalan untuk band seperti The Killers dan Arctic Monkeys, tanpanya kita tidak akan mengenal band-band tersebut. Bahwa The Strokes tidak pernah memproduksi lagi album seperti yang mereka lakukan di tahun 2001 tersebut, itu tidak menjadi masalah. Karena melihat balik 20 tahun yang telah berlalu, Is This It, telah melakukan tugasnya. Album itu adalah kesempurnaan musik rock terakhir, sebelum abad 21 dan dunia virtual menelan kita dalam segala bentuk modernitas yang menyertainya. Album ini adalah dan tetap merupakan sebuah monumen otentik gitar rock.

Jika kalian di hari-hari ini mendengarkan kembali Is This It ataupun baru pertama kali mendengarnya, lakukanlah dengan suara kencang. Dengar duel suara gitar Nick Valensi dan Albert Hammond Jr. yang kasar namun melodik, dengar suara distorsi Julian Casablanca yang khas itu, dengar petikan bas Nikolai Fraiture yang mengajak berdansa, dengar gebukan drum metronomik Fabrizio Moretti yang meledakkan jantung, sambil ingat bahwa pada musim panas tahun 2001, The Strokes hadir di hidup ini dan menyelamatkan kita semua.       

David Wahyu Hidayat

24
Des
19

Album & Lagu Favorit 2019

Dan sampailah kita di sini, di mana 2019 tinggal menghitung mundur tidak hanya habisnya dirinya tetapi juga keseluruhan dekade yang sejak lama mengikutinya. Saatnya menghapuskan lelah dari hari-hari yang membentuk tahun ini. Di sana mungkin ada kesuksesan dalam ketidakpastian, ada kenikmatan dalam kegamangan, ada harapan di tengah kekacauan.  Dalam narasi yang mengiringi semua itu dalam kehidupan saya tahun ini, dan juga mungkin kalian, selalu ada alunan yang menyertai. Yang tanpa sadar kita senandungkan di pagi hari kala menumpang moda raya terpadu, atau yang dengan penuh kepuasan mengiringi tarian malam hari di dalam gelap yang melindungi kita dari ketidakpastian esok hari. Seluruh alunan itu seperti bahan bakar akan sesuatu yang baik yang akan selalu terjadi dalam kehidupan ini. Di bawah ini adalah alunan-alunan favorit saya tahun ini dalam bentuk album dan lagu. Terima kasih 2019.

Album 2019

Album:

Pikiran dan Perjalanan – Barasuara

Dari dalam gelap mereka kembali. Walaupun dalam kasus Barasuara, mereka selalu memberikan api dan lentera dalam planet musik nasional. Album kedua Barasuara seperti menjawab kegelisahan banyak orang di penghujung dekade ini, tentang memikirkan cara menyambung nyawa bumi ini, tentang menyatukan haluan tanpa memiliki pikiran populis, tentang bangkit berjalan lalu melawan apapun yang sedang menghalangi kita. Dan semuanya dibalut dengan musik yang terdengar ambisius dan menjadikan mereka salah satu anugerah terbaik yang pernah kita nikmati sebagai manusia bumi pertiwi.

Everyday Life – Coldplay

Salah satu miskonsepsi saya tentang Coldplay (atau mungkin beberapa orang lainnya), adalah mengharapkan mereka menjadi Radiohead atau U2 berikutnya, hanya saja mereka tidak akan pernah menjadi sama seperti kedua band itu (Terlepas dari rekor konser-konser bombastis yang mereka lakukan). Sehingga hampir setiap band ini mengeluarkan album, ada sebersit kekecewaan karena kesederhanaan musiknya ataupun karena usaha mereka mengawinkan elemen musik kekinian dalam lagunya. Tetapi jika pikiran itu dikesampingkan, dan yang dilakukan adalah hanya memeluk kesederhanaan musik tersebut, Coldplay berubah menjadi band terbaik dekade ini. Itu yang saya rasakan mendengarkan Everyday Life, kesederhanaan itu menohok dan mengalun tenang dalam pikiran, menjadikannya parasut yang menyelamatkan kita dari gravitasi hidup yang seringkali menarik kita terlalu tajam.

The Greatest Ever – Elephant Kind

The Greatest Ever adalah sebuah klaim yang sangat berani untuk judul sebuah album, namun tidak bisa disangkali judul tersebut sesuai, paling tidak untuk semesta Elephant Kind. Ini adalah karya yang paripurna, pop dalam elemen terbaiknya. Dengarkan saja I Believe In You, Watermelon Ham, atau lagu terbaik menurut saya dalam album ini, Better Days. Pejamkan mata, biarkan suara itu menguasai semua indra kalian, dijamin kalian akan merasakan perasaan paling hebat yang pernah ada, dan untuk itu Elephant Kind telah melakukan pekerjaan terbaik mereka.

Everything Not Saved Will Be Lost, Part 1 & 2 – Foals

Apakah memasukkan 2 album yang dirilis terpaut 7 bulan di tahun yang sama menjadi sebuah kesatuan adalah sebuah kecurangan? Faktanya saya tidak pernah dapat mendengarkan 2 album ini menjadi 2 entitas berbeda. Keduanya saling melengkapi seperti layaknya sebuah double album. Dalam part 1, kita akan dibuai dengan keabsurdan Exits, dan keagungan Sunday. Dalam part 2  The Runner dengan bombastis mengingatkan kita Foals adalah salah satu produk GB terbaik dekade ini. Ketika kedua album itu ditutup dengan Neptune yang berdurasi sepanjang 10:18, itu adalah ajakan Foals untuk mengikuti mereka, meninggalkan segala yang telah ada, menyambut segala yang baru “See me when I float like a dove, the skies above are lined with trees, I’m on my knees, begging please. Come and take me away, come and take me away”.

Why Me, Why Not? – Liam Gallagher

10 tahun sudah Oasis membubarkan diri. Dalam 10 tahun tersebut, kakak-beradik Gallagher tidak pernah menghilangkan jejaknya dari tapak musikalis kita. Keduanya tetap bersaing melontarkan hook demi hook, seperti layaknya juara kelas berat yang belum rela melepas sabuk juaranya. Why Me, Why Not? adalah serangan termutakhir Liam, dan betapa tidak mengecewakannya hal itu. Album itu diawali dengan Shockwave, dan sesuai judulnya keseluruhan album itu adalah gelombang kejut tanpa henti. Lagu – lagu seperti Once dan One Of Us adalah instan klasik yang pantas disandingkan dengan karya band mereka sebelumnya. Jika ini adalah sebuah pertarungan tinju mempertaruhkan juara kelas berat, maka Liam dengan sukses mempertahankannya lewat Why Me, Why Not? Noel, kami semua menunggu langkahmu selanjutnya.

Menari Dengan Bayangan – Hindia

Sesungguhnya Menari Dengan Bayangan adalah salah satu karya paling personal dan jujur dari seorang penyanyi/penulis lagu yang pernah saya nikmati. Dengan berani Baskara Putra memperdengarkan 3 voice note orang-orang yang dekat dengan dirinya sebagai bagian dari albumnya, dan itu semua tidak terdengar canggung tetapi merupakan bagian integral yang menambah keindahan album ini. Musik sudah seharusnya memberi harapan, menjadi jawaban terhadap segala macam kekisruhan dengan kejujuran dan keterbukaan yag ditawarkannya, Menari Dengan Bayangan melakukan itu. Waktu mendengarkan album itu pertama kali sambil berjalan di trotoar Sudirman pada sebuah Jumat malam, pemutar musik saya sampai pada lagu Mata Air, dan waktu saya mendengarkan “Hidup bukan untuk saling mendahului, bayangan yang diciptakan oleh mentari ada karena matahari bermaksud terpuji, untukmu cintai diri sendiri hari ini…Mata Airmu ada di sini, Mata Airmu diri sendiri, temukan makna hidupmu sendiri, menarilah dengan bayangan diri sendiri” saya merasa terbebas, sebebas-bebasnya. Untuk momen itu saya berterimakasih kepada Hindia dan album ini.

Kiwanuka – Michael Kiwanuka

Sejujurnya musik Michael Kiwanuka bukanlah tipikal musik yang saya dengarkan sehari-hari. Saya menemukannya ketika dalam sebuah perjalan pulang kantor di atas moda raya terpadu membaca ulasan The Guardian yang mengatakan album ini adalah “one of the greatest albums of the decade”. Didorong rasa penasaran, saya lalu mendengarkannya. Semenjak You Ain’t The Problem (lagu pertama album itu) menendang gendang telinga saya, jiwa saya tersentak. Lantunan gospel di I’ve Been Dazed “The Lord said to me, time is a healer, love is the answer, I’m on my way”, mungkin akan terdengar picisan jika salah disampaikan, tetapi dalam album ini, itu terdengar seperti sebuah terapi yang membebaskan. Hero dan Final Days mengkonklusikan bahwa Kiwanuka memang bukan saja salah satu album terbaik tahun ini, tetapi salah satu tapal batu dalam dekade yang kadang terasa melelahkan ini.

I Am Easy To Find – The National

Sudah lama musik The National berfungsi sebagai terapi paruh baya untuk saya. Tidak terkecuali I Am Easy To Find. Album ini seperti sebuah penangkal kegelisahan dari hari ke hari. Dari awal cumbuan elektronika You Had Your Soul With You, sampai dentingan piano terakhir Light Years, mereka meneropong kita dari terowongan, memberikan berkas-berkas cahaya untuk menyinari hari-hari kelam, sampai akhirnya kita menemukan sumber cahaya tersebut.

Bani Bumi – Polka Wars

Jika seluruh kekalutan manusia dapat dijawab melalui musik, mungkin Bani Bumi bisa menjadi templatnya. Kesedihan, atau apapun bentuk perasaan negatif manusia perlu dimengerti agar dapat memprosesnya. Bani Bumi seperti sebuah proses tersebut. Mendengarkan Fatamorgana atau Avatar kita akan jatuh sebentar ke dasar kesedihan tersebut, sebelum pelan-pelan diangkat perasaan semangat yang meliputi album tersebut. Suar mendekati kita ke sepercik cahaya dengan ritmik positif yang mengiringinya. Ketika kita sampai di Temaram, kita merasa damai, disemaikan melodi-melodi nyaman yang tidak hanya membuai di lagu tersebut, namun di keseluruhan karya magis Polka Wars ini.

This Is Not A Safe Place – Ride

Jika pada tahun 2009, seseorang bilang ke saya bahwa Ride akan merilis 2 album di dekade berikutnya mungkin saya akan menganggap orang tersebut sudah tidak lagi sepenuhnya waras. Namun itulah yang terjadi. Setelah Weather Diaries di tahun 2017, pentolan shoegaze itu merilis This Is Not A Safe Place tahun ini. Dan betapa agungnya kedatangan kembali tersebut. Dengan repertoar lagu seperti Future Love, Cloud Of Saint Marie, dan Eternal Recurrence; Ride tidak hanya kembali ke teritori mereka sebagai sebuah band yang memperkenalkan perasaan eteral ke lagu-lagu mereka, tetapi tetap memuktahirkan musik mereka sehingga terdengar aktual di dekade ini. Mudah-mudahan hal ini berlanjut ke dekade berikutnya, tetapi jika hal tersebut tidak pernah terjadi legasi mereka tetap akan aman dengan This Is Not A Safe Place.

 

 

 

 

Lagu:

You Ain’t The Problem – Michael Kiwanuka

You Ain’t The Problem adalah sebuah pernyataan dari Michael Kiwanuka, bahwa di tahun 2019 musik masih dapat menggugah jiwa, menjadi kompas kehidupan dengan alur ketukan bas drum yang menggiurkan dan kesederhanaan nyanyian “La la la la…” ceria tanpa beban.

Better Days – Elephant Kind, feat. Heidi (The Girl with the Hair)

Mendengarkan Better Days adalah membayangkan hari terbaik di Jakarta tanpa segala kemacetan, kebisingan dan keribetan yang mengelilinginya. Yang ada hanyalah tawa orang-orang terbaik di sekelilingmu, mengendarai mobil dengan atap terbuka menembus Sudirman dengan langit cerah tanpa asap dan harapan baik yang akan datang.

Silver – DMA’s

Sebuah artikel yang saya baca dalam perjalanan pulang-pergi kerja mengantarkan saya pada band asal Sydney yang bulan November lalu menjadi band pembuka tur Liam Gallagher di Britania Raya. Memadukan melodi indipop layaknya datang dari The Stone Roses ataupun The Charlatans, Silver adalah sebuah lagu yang layak menjadi klasik britpop jika saja ia dirilis 2 dekade lebih lawal. Terlepas dari semuanya britpop ataupun tidak, lagu ini adalah kelas.

The Runner – Foals

Ada 2 sisi Foals yang selalu saya kagumi yang juga diulang di dua bagian Everything Not Saved Is Lost. Yang pertama adalah sisi melodik absurd seperti pada Exits, yang kedua adalah tipe lagu seperti The Runner. Entah mengapa, cara Yannis Phillipakis menyanyikan lagu ini dan pendekatan Foals memainkannya seperti sebuah sebuah serangan pasif agresif yang dibungkus oleh nada-nada yang ingin berlari menembus segala apapun yang dilawan jiwa. Dan di situlah letak istimewanya The Runner.

This Life – Vampire Weekend

Kembalinya sebuah band setelah lama tidak berkarya, dapat didekati dengan 2 cara. Skeptis atau dengan tangan terbuka lebar seperti bertemu sebuah kawan baik yang lama tidak dijumpai. Dalam kasus Vampire Weekend, yang terjadi adalah hal kedua. 6 tahun berlalu sejak Modern Vampires Of The City, dan ketika kita mendengar lagu seperti This Life dari album terbaru mereka Father Of The Bride, itu seperti mereka tidak pernah pergi. Kenyamanan berada bersama mereka datang kembali, dan kita pun tersenyum bahagia ketika mereka kembali menemani dalam setiap seruput cangkir kopi yang kita minum.

Orphans – Coldplay

Jangan pernah menganggap Coldplay adalah U2 ataupun berharap mereka membuat lagu seperti Radiohead. Serap saja kesederhanaan dan keindahan melodi dalam setiap lagu mereka. Jika itu yang terjadi, maka kita akan tersenyum bahagia dan menari bersama lagu itu tidak peduli sedang sepedih apa hari yang sedang dilalui. Di situlah letak Coldplay di kehidupan kita, ia membuat banyak orang bahagia, dan Orphans adalah salah satu contohnya.

Future Love – Ride

Perasaan etereal itu muncul kembali. Ketika kita mengawang gamang tetapi lepas dari segala sesuatu yang mengikat jiwa. Waktu melodi-melodi Future Love menyentuh sanubari terdalam kita, gita bergema dalam hati, dan itu adalah sumbu yang selalu membakar kita untuk terus berjalan seperti lirik yang didengungkan lagu ini “You’ve Got Me Going..”

No One Told – Gabriel Mayo

Gabriel Mayo adalah sebuah penyegaran, No One Told yang diambil dari albumnya In Between yang dirilis September 2019 lalu, adalah salah satu jejak pernyataan tersebut. Dengan suara gitar renyahnya lagu ini seakan membawa kita ke dalam sebuah road trip yang sempurna di mana yang ada adalah pacuan rasa bahagia dan di mana keresahan dipudarkan. Perasaan seperti itu adalah perasaan yang diberikan sebuah lagu pop mumpuni.

Mata Air – Hindia, feat. Natasha Udu, Kamga

“Jika kau pernah tersakiti, angkat tangan

Jika kau pernah menyakiti, angkat tangan

Jika kau pernah bahagia, angkat tangan

Jika kau pernah kecewa, angkat tangan”

Lagu ini adalah sebuah perayaan dirimu sebagai manusia, TITIK.

Tarian Penghancur Raya – .Feast

Selain konteksnya yang mengkritik apapun yang perlu dikritik dalam zaman kebablasan populisme ini, Tarian Penghancur Raya menghadirkan permainan kata-kata tingkat dewa, dengarkan saja silat kata “Trotoar lebar, bahan hijau, Tesla, kalah cepat disalip kuda Asia, tewas di lampu merah, garis zebra, Efek Rumah Kaca tiba-tiba suddenly di mana-mana”. Waktu pertama kali mendengarkannya saya tersenyum geli, dan memuji kejeniusan lagu ini dalam hati. Jika ini cara kita memprotes dalam bentuk sebuah seni, hendaklah Tarian Penghancur Raya menjadi formatnya.

Pancarona – Barasuara

Barasuara adalah mercusuar musik nusantara saat ini. Dengan Pikiran dan Perjalanan mereka tidak hanya melanjutkan kegemilangan yang ada pada Taifun, tetapi memperlebar spektrum musik mereka, dan di tengah semua itu terdapat Pancarona. Kelirihan awal lagu ini, membuat klimaks yang terjadi di tengah lagu tersebut ketika judul lagunya pertama kali dinyanyikan menjadi lebih tajam menembus sanubari. Ketika mengingat 2019, kita akan mengingat bahwa Barasuara telah memberikan kita sebuah lagu mengagumkan berjudul Pancarona.

Once – Liam Gallagher

Liam Gallagher selalu memproklamasikan dirinya sebagai spesies terakhir seorang bintang Rock n’ Roll, dan dalam banyak kesempatan hal itu benar adanya. Namun yang lebih benar adalah dia mendewasakan dirinya lewat karya-karyanya yang bertempo lebih lambat daripada lagu-lagu dalam segmen tersebut. Once adalah sebuah balad paling indah pasca Oasis yang pernah diproduksi oleh seorang Liam Gallagher. Tentang hari-hari indah yang menyinari kehidupan dan inspirasi terdahulu yang terus mengiringi kehidupan kita.

Sail On – Noel Gallagher’s High Flying Birds

Hidup seringkali tidak adil terhadap kehidupan beberapa individu yang menghiasinya. Terkadang itu menjadi beban, sampai kita sulit bernafas dan tidak melihat adanya jalan keluar. Namun untungnya hidup juga memberikan kita seorang Noel Gallagher. Ia selalu dapat memberikan kemenangan kecil terhadap kehidupan, dan harapan untuk kembali melangkah. Sail On tidaklah terkecuali, dengarkan saja lirik lagu ini,

“While you’re sick and tired of feeling sorry for yourself

Life will cheer you up and spit you out and put you on the shelf

And you will wake up every morning expecting to be free

You’ve gotta float on”

Walaupun tidak sirna dalam sekejap, namun di balik awan gelap itu terdapat sebersit sinar mentari yang memberikan kehangatan pada wajah kita, pada kehidupan.

BatasL’alphalpha

Dirilis pertengahan Desember 2019, lagu ini adalah yang terakhir masuk ke daftar ini. Sebegitu impresifnya lagu ini, sehingga saya harus mengorbankan lagu lainnya untuk dikeluarkan dari playlist ini. Ketika gitar itu menembus jiwa dari menit 1:40 ke atas, disusul dengan alunan “Dan kau temukan, semua jawaban dalam hatimu, lampai batas” lagu ini terdengar seperti mantra untuk menjadi sendiri dan menjadi lebih baik, melawan rasa takut, memilih antara sisi terang dan gelap. Dengan Batas L’alphalpha telah kembali, dan mereka kembali dengan sebuah ledakan.

Parak – Polyester Embassy

Parak adalah lagu yang menandai kembalinya Polyester Embassy sebelum mereka merilis sebuah EP di tahun 2020. Tetap setia dengan elemen suara yang menjadi ciri khas mereka, ada satu hal yang berubah di lagu ini. Perpaduan gitar dan synth itu kini dibalut dengan lirik berbahasa Indonesia yang menambah keintiman Parak akan sebuah harapan “Semoga esok kan gemilang” kata lagu ini di akhirnya, dan bersamaan dengannya kegemilangan Polyester Embassy akan berlanjut.

Erotika – Goodnight Electric

Waktu pertama kali mendengarkan lagu ini, saya tidak berhenti dengan rasa kagum akan keluaran musik asal negeri ini. Erotika adalah kelas, sebuah elektro pop dari kasta tertinggi yang mengajak kita berdansa dengan ritmik yang menggelorakan jiwa. Di sana ada elemen New Order tetapi itu tidak terasa asing tetapi memberikan identitas nasional kepada musik Goodnight Electric terbaru ini. Setelah 4:22 menit menikmati lagu ini, saya tenggelam dalam relung rahasia Goodnight Electric melalui Erotika.

Borderline – Tame Impala

Di tengah kekacauan dekade ini, ada suara-suara yang mengijinkan kita untuk bermimpi dan mengatakan semauanya baik-baik saja. Dalam banyak kesempatan suara-suara itu datang dalam wujud lagu-lagu Tame Impala. Dengan musik dan vokal yang menghipnotis, Borderline membawa kita ke dalam perasaan itu. Bahwa untuk beberapa saat, hidup kita berhenti di sebuah musim panas, tidak ada kegamangan, yang ada adalah kesempurnaan hidup walaupun itu semua hanya berdurasi empat setengah menit lamanya.

Empires – Elbow

Intro lagu ini sebegitu hebatnya, sehingga ia menghantui saya baik ketika sadar maupun tidak. Keagungannya berputar di dalam kepala diiringi suara bass Guy Garvey yang menyanyikan “Baby, empires crumble all the time…”. Apakah ini referensi terhadap brexit, apakah ini referensi terhadap keruntuhan ego pribadi yang seringkali hancur di tengah kehidupan? Tidak ada yang tahu. Empires adalah testimoni Elbow sebagai sebuah band papan atas Inggris yang selalu menghasilkan karya-karya hebat dan itu sudah berlangsung selama lebih dari 2 dekade. Untuk itu kita layak mengangkat topi untuk mereka.

Fatamorgana – Polka Wars

Pilu adalah harapan baru. Tanpa kekalutan kita tidak pernah merasakan kemerdekaan yang paripurna. Lewat Fatamorgana, Polka Wars merangkum keresahan tentang sebuah asa yang ternyata bukanlah tujuan akhir kehidupan, tentang       ilusi yang dijajakan tanpa basis kemanusiaan. Sesuai judulnya, yang terlihat di permukaan belum tentu selalu indah, kadang kita harus menggali jiwa sedalam-dalamnya sampai kita menemukan sesuatu yang hakiki untuk meneruskan tujuan.

Light Years – The National 

Dan sampailah kita di akhir segalanya. Hari terakhir dari semua usaha yang telah kita raih. Sambil memejamkan mata, matahari sore menyinari wajah kita, di headphone lagu terakhir dari album I Am Easy To Find ini mengalun, dengan pianonya yang berulang-ulang melakukan sinkronisasi harmonis antara keresahan dan kebahagiaan kita. Pelan-pelan malam menyapa, cahaya berganti menjadi gelap, namun di tengah semuanya kita tetap terdiam. Menyadari bahwa kita telah menemukan keseimbangan, dan semuanya akan baik-baik saja.

David Wahyu Hidayat

31
Des
18

Favorite Tracks & Albums 2018

Tracks:

Album:

Screenshot_20181231-130156_PhotoGrid

19
Okt
18

Ulasan Konser – Arctic Monkeys, O2 Arena London, 10 September 2018

Monkeys

Arctic Monkeys
O2 Arena, London – 10 September 2018
Band Pembuka: Lemon Twigs
Penonton: 20.000 (kapasitas maksimal)

Setlist:
Star Treatment, Brianstorm, Snap Out Of It, Crying Lightning, Teddy Picker, 505, Tranquility Hotel Base & Casino, Do Me A Favour, Don’t Sit Down Cause I’ve Moved Your Chair, From The Ritz To The Rubble, One Point Perspective, American Sports, Cornerstone, Why’d You Only Call Me When You’re High, Knee Socks, Do I Wanna Know, Pretty Visitors, Four Out Of Five. Encore: I Bet You Look Good On The Dance Floor, Arabella, R U Mine
Ulasan:
Tranquility Base, Bulan 20 Juli 1969. Manusia mendarat di sana, menjejakkan kakinya lalu melangkah, berharap langkahnya merupakan langkah raksasa yang mendefinisikan kaumnya di masa datang, masa depan termegah yang pernah ada dalam dimensi waktu.

Bumi, 11 May 2018 Arctic Monkeys merilis album keenam mereka yang judulnya terinspirasi dari satu-satunya permukaan bulan yang pernah dijejaki manusia. Tranquility Base Hotel & Casino. Jelas memberikan jarak dengan AM yang berdetak kencang, berbahan bakar rock dan bit yang bercumbu dengan R&B, album keenam ini kerap dimisinterpretasikan sebagai projek tanpa arah Alex Turner sang vokalis. Dalam kemisteriusannya, album ini menemukan keindahannya sendiri dalam aroma soundtrack layaknya film Perancis, dalam space jazz yang penuh anestesi dan keharmonisan melodi seperti album Beach Boys.

London, O2 Arena 10 September 2018. Hari itu adalah yang kedua dari jadwal 4 malam konser Arctic Monkeys di ibukota Britania. 20 ribu orang memenuhi kapasitas maksimal arena yang letaknya tidak jauh dari garis meridien penanda waktu planet ini. Mereka menunggu penuh harap ketika band Lemon Twigs membuka malam itu, seperti roket yang hendak melesat, menunggu dilayangkan ke bulan ke sebuah landasan yang memberikan harapan dalam keharmonisan musik rock.

20.45 Waktu Meridian Greenwich. Itu adalah waktu di mana Star Treatment mengalun, membawa kita ke awal perjalanan menuju Tranquility Base versi 4 pemuda asal Sheffield. Kita melayang menuju bulan, dengan pencahayaan panggung bertaburkan nuansa kuning, menambah misteri Arctic Monkeys yang sedang mencoba membuktikan bahwa mereka adalah band terbaik dari dekade silam.

Ketulusan lagu pertama tersebut dirobek ketika Brianstorm seketika menghantam sebagai lagu kedua. Serentak tidak ada lagi yang berdiam diri, dari mereka yang di bawah panggung sampai yang berada di lingkaran teratas O2, semuanya berdiri, menari, berteriak mengikuti riff lagu tersebut. Dalam sekejap badai menyapu arena tersebut.

Dalam format sebuah konser, kejeniusan Arctic Monkeys, khususnya album Tranquility Base terlihat jelas. Karena tidak ada lagi kecanggungan bahwa lagu – lagu dari album tersebut terlalu kelam untuk ukuran Arctic Monkeys. Nomor-nomor album tersebut seperti One Point Perspective, American Sports dan Four Out Of Five melebur menjadi satu dipadukan dengan rangkaian lagu dari album-album sebelumnya seperti Teddy Picker, Crying Lightning, Do Me A Favour maupun Don’t Sit Down Cause I’ve Moved Your Chair. Bahkan ketika mereka membawakan 505 yang langsung disambung dengan Tranquility Base Hotel & Casino, suasana O2 sangat intens dengan atmosfir seperti layaknya menonton The Shining dan 2001:Space Odyssey dari Stanley Kubrick secara sekuensial.

Set utama mereka malam itu dipamungkasi dengan Four Out Of Five. Saat mereka kembali, di atas panggung nampak rangkaian huruf dengan warna kuning menyilaukan, terbaca di sana dengan sangat jelas Monkeys. Diiringi riuhan warga London/Britania pada desibel tertingginya I Bet You Look Good On The Dance Floor dilepaskan, dan tak pelak lagi seluruh amunisi adrenalin diledakkan semua orang yang merayakan band tersebut seperti bagian dari budaya identifikasi yang tidak bisa lagi dilepaskan.

R U Mine? meletakkan Arctic Monkeys pada garis finis konser malam itu, dengan sebuah pertanyaan obligatoris sekaligus proklamasi bahwa mereka adalah yang terbaik. Ketika sampai pada lirik “She’s a silver lining lone ranger riding through an open space…” Arctic Monkeys berhenti bermain, yang terdengar hanya suara Alex melantunkannya, yang terlihat hanyalah siluet bayangannya disinari cahaya kuning di atas panggung. Itu adalah momen di mana Alex Turner menjadi sebuah ikon rock ‘n’ roll, di mana Arctic Monkeys mengukuhkan dirinya sebagai band terbesar generasinya.

Argumen dapat berputar, ada band lain yang lebih besar dari mereka, tapi malam itu jika mereka hanya mengetuk-ngetukkan dua buah batu diiringi suara angin, 20 ribu orang yang memenuhi arena tersebut masih akan memuja mereka seperti ketika mereka memainkan R U Mine? Terserah kalian akan mengatakan apa, Arctic Monkeys bukanlah yang kalian maksud karena mereka adalah band yang akan membuat kalian selalu penuh ekstase di atas lantai dengan sepatu dansa tersemat di kaki kalian, sambil memainkan musik paling dashyat yang pernah kalian dengar dari atas panteon rock kita.

David Wahyu Hidayat.

17
Jan
18

Ulasan Konser – Liam Gallagher, Econvention Ancol Jakarta, 14 Januari 2018


Liam Gallagher

Econvention Ancol Jakarta, 14 Januari 2018


Setlist:

Fuckin’ In The Bushes (Tape), Rock ‘N’ Roll Star, Morning Glory, Greedy Soul, Wall Of Glass, Paper Crown, Bold, For What It’s Worth, Soul Love, Some Might Say, Slide Away, Come Back To Me, You Better Run, Be Here Now, Live Forever. Encore: Cigarettes & Alcohol, Wonderwall

Minggu, 14 Januari 2018 adalah hari yang istimewa. Di hari itu, Presiden Jokowi meresmikan ulang stadion kebanggaan nasion ini; Gelora Bung Karno yang telah direnovasi ulang dan sekarang berdiri dengan segala kemegahan tata cahayanya selayak mentari Nusantara. Di minggu yang megah itu pula, kedigdayaan 33 kali kemenangan berturut-turut dalam kompetisi domestik Manchester City dipatahkan dengan gemilang oleh Liverpool FC. Namun selain itu ada satu peristiwa yang terjadi di utara kota Jakarta yang membuat hari itu menjadi spesial. Hari itu, Jakarta kedatangan anak ternama Manchester, frontman terbaik terakhir dari generasinya, hari itu Liam Gallagher hadir di Jakarta.

Tepat pukul 21:00, saat hentakan terakhir I Am The Resurrection surut dari tata suara Econvention, lampu pun dipadamkan, secara sekejap gendang telinga kita lalu digempur oleh dentuman Fuckin In The Bushes. Dada mulai berdegup kencang, adrenalin mulai terpompa, lalu dengan penuh kebanggaan berdirilah Liam Gallagher bak seorang mesias di tengah riuh sorakan pengikutnya yang sudah lama menanti kedatangannya.

Ia langsung menggebrak dengan Rock N Roll Star, dan seperti air bah yang tidak dapat lagi dibendung, seluruh manusia mortal yang ada di ruangan konser itu meyakini bahwa mereka pun adalah rockstar, sambil mengagumi kharisma sang penyelamat yang berdiri di atas panggung, tangan di belakang, kepala mendongak, menyanyi sambil mempercayai bahwa momen itu adalah yang terpenting sepanjang hidupnya.

Morning Glory, melanjuti konser tersebut, dan lenyap sudah semua ingatan bahwa band yang memiliki lagu tersebut sudah bubar 9 tahun yang lalu. Noel tetap akan dirindukan kehadirannya, namun setidaknya malam itu publik Ancol menyaksikan sebersit kejayaan Oasis dalam Liam Gallagher.

Setelah 2 lagu klasik tersebut, Liam melanjuti malam itu dengan lagu-lagu dari solo albumnya. Greedy Soul, Wall Of Glass, Paper Crown, Bold, dan For What It’s Worth (yang ia dedikasikan untuk semua scouser di ruangan itu) terdengar berhasil memerdekakan dirinya sebagai seorang solo artis dan bukan hanya sebagai eks-vokalis Oasis. Dengan atau tanpa lagu Oasis, ia adalah seorang Liam Gallagher yang memiliki daya tarik, yang dipuja oleh massanya yang menganggapnya setengah dewa dan yang memberikan arti dalam kehidupan orang banyak. Dan hal ini dibuktikan oleh penonton yang ikut bernyanyi bersamanya sebagai sebuah pembuktian bahwa mereka mengakui semua itu.

Selepas Soul Love, sebuah karyanya bersama Beady Eye, Liam mempersembahkan Ancol dengan Some Might Say dan Slide Away, dan itu membawa Econvention ke pertengahan tahun 90-an di mana Britpop adalah sebuah kerajaan dengan segala optimisme dan harapan yang menyertainya.

 

Come Back To Me dan You Better Run dari As You Were bergulir menyusul 2 lagu klasik tersebut, dan Liam kembali meneruskan mode petarungnya, bernyanyi seperti layaknya Mike Tyson yang hendak menjungkalkan lawannya di atas ring. Malam itu Liam memberikan performa suara yang baik, bahkan bisa dibilang lebih baik dari hari-hari terakhirnya di Oasis, dan semua yang menyaksikannya malam itu beruntung mengalami Liam dalam versi tersebut.

Set utama malam itu menemukan pamungkasnya dalam Be Here Now dan Live Forever. Ketika lagu terakhir tersebut dibawakan secara akustik, kemortalan kita sekejap berubah menjadi keabadian ketika menyanyikan “you and I, we’re gonna live forever”, ketika kita turut bahagia akan seorang penonton yang berhasil naik ke panggung dan memeluk Liam seakan ia adalah kekasih idamannya, ketika kita menengadah ke langit sambil merentangkan tangan bersyukur bahwa keajaiban musikalis kita boleh terjadi malam itu.

Setelah jeda obligatoris, Liam kembali naik ke atas panggung diiringi nyanyian Champagne Supernova oleh penonton, yang selain kehadiran Liam sendiri merupakan keindahan lainnya dari konser malam itu. Kembali kita diberikan keistimewaan hanyut dalam Cigarettes & Alcohol, seakan kepenatan pekerjaan sehari-hari terlibas oleh suara rock ‘n’ roll yang membawa kembali ekstase kehidupan.

Rangkaian momen-momen kejayaan malam itu diakhiri dengan versi akustik Wonderwall. Lengkap sudah kebahagiaan mereka yang menghadiri konser tersebut, karena selama hampir satu setengah jam melalui lagu-lagu yang mendefinisikan masa muda dan memberikan makna dalam kehidupan, kita berasa seperti seorang rock ‘n’ roll star dan pada akhirnya menemukan keabadian yang tidak dapat diambil lagi dari diri kita. Kamu dan saya yang ada di Econvention malam itu akan hidup untuk selamanya.

David Wahyu Hidayat

03
Jan
18

Ulasan Album: Gypsea – Chameleon Delight 

Gypsea

Chameleon Delight

Buatan Records 2017

Gypsea adalah Jeffry Kartika, dan singer/songwriter asal Jakarta ini memiliki sebuah misi melalui debut albumnya Chameleon Delight. Bangkit dari puing-puing Gunver, sebuah band indie dari Jakarta yang pernah menelurkan album berjudul “Wonders of Enlightenment” di tahun 2010; Jeffry Kartika menghasilkan debut album yang inspiratif, penuh variasi serta eksplorasi dari berbagai macam genre seperti pop-rock, vibrasi Jazz, dan elemen-elemen world music; yang membuatnya seperti sebuah kumpulan musik untuk menikmati keindahan milenial dan melawan kegaduhan dystopia yang menyertainya.

Album ini diawali oleh Clouded By Mermaids yang menghanyutkan dengan efek suara orkestrasi yang megah, membuat yang mendengarkannya seperti dibawa ke pesisir pantai yang indah pada saat matahari terbenam. Suasana menyenangkan tersebut dilanjutkan dengan Feet Wet, yang juga merupakan salah satu single dari Gypsea. Pada lagu inilah kejeniusan Jeffry Kartika sebagai seorang penulis lagu mulai ditunjukkan. Karena lagu ini adalah definisi indie-pop yang akan dicintai generasi 90an dan para milenial bersamaan, dengarkan break gitar pada menit 02:06 dan kita semua akan berdansa penuh endorfin diiringi lagu ini.

Setelah diselingi Floriene yang membiuskan, groove itu dilanjutkan pada Passion for The Pacific yang dapat dijadikan sebuah soundtrack musim semi menyenangkan di mana matahari bersinar hangat dan semuanya terasa benar pada tempatnya. Permainan emosi antara lagu tenang dan menghentak penuh semangat dilanjutkan pada dua lagu berikutnya, yaitu Rattle The Stars dan Bias. Yang pertama dengan alunan Piano manis seperti sebuah mimpi indah yang kekal, yang kedua adalah definisi optimisme rock dari Gypsea yang dihantarkan tanpa basa-basi dan menghujam seperti jab Muhammad Ali, sambil meluapkan inti jiwa yang meledakkan langit.

Bias seperti memulai bagian kedua di dalam Chameleon Delight, jika 5 lagu pertama menampilkan keindahan milenial dengan segala optimismenya, paruh kedua album ini layaknya adalah bayangan zaman ini dengan segala kecemasan, kegilaan namun di antara semua itu terdapat harapan yang belum sirna. Forever Beautiful adalah sebuah pyschedelic rock menyambut dystopia yang akan datang dan mendengarkannya seperti mendengar perpaduan Unkle, The Chemical Brothers dan Kasabian dalam satu lagu. Lagu tersebut disusul dengan War Is Spiritual yang dibalut permainan synth seperti hendak memanipulasi alam pikiran. Trilogi dystopia pada album ini ditutup oleh Lick the Paint dengan pola bas yang mendeterminasi pendengaran kita, meresahkan namun menyuntikkan adrenalin sekaligus.

Dengan ritem gitar yang renyah dan melodi menggoda, Sunny Youth adalah Gypsea dalam wujud paling pop yang ditampilkan album ini. Mendengarkannya seperti mendengarkan harapan dan hal-hal baik yang akan menyertainya. Chameleon Delight lalu ditutup dengan Let Me Go yang mengalun lembut dan mengembalikan optimisme seperti ketika kita mendengar lagu pertama album ini.

Jeffry Kartika aka Gypsea menghantarkan sebuah debut album yang solid dengan Chameleon Delight. Seperti dianjurkan nama album itu sendiri, ini adalah album yang penuh dengan elemen-elemen membahagiakan. Mendengarkannya seperti sebuah perjalanan indah yang tidak pernah hambar, kadang ia membuai, kadang ia menerjang, dan sering ia membuat kita menari dan tersenyum di sebuah kota metropolis yang kita cintai. Album ini adalah sebuah permulaan.

David Wahyu Hidayat

Stream Gypsea (Chameleon Delight) Full Album:

Apple Music: https://itunes.apple.com/id/artist/gypsea/id1275629792

Social media:

Youtube: http://www.youtube.com/gypseaband

Soundcloud: http://www.soundcloud.com/gypseaband

Instagram: http://www.instagram.com/gypseaband

Twitter: http://www.twitter.com/gypseaband

Facebook: http://www.facebook.com/gypseaband

31
Des
17

Favorite Tracks & Albums 2017

Tracks:

Albums:

28
Agu
17

Ulasan Album: Zat Kimia – Candu Baru

​Zat Kimia

Candu Baru

Hampir setahun berlalu sejak saya menyaksikan band menjanjkkan asal Bali ini di panggung Amphitheater, Soundrenaline Festival. Kemarin (27.08.17) band ini, Zat Kimia menelurkan album mereka yg bertajuk Candu Baru.

 
Segala ingatan saya akan impresifnya band ini dikonfirmasi oleh album tersebut. Dengan lagu-lagu yg mengingatkan akan kesolidan alternatif rock era 90-an, Zat Kimia menebarkan substans berbahaya terutama dalam lagu seperti Ennui, Frekuensi dan tentunya lagu yang juga menjadi judul album mereka: Candu Baru.

 
Dibandingkan dengan demo yang telah berotasi di dunia maya sebelumnya, lagu Candu Baru terdengar lebih ganas dengan hentakan drum yang menggulung bertubi-tubi dan serangan gitar seperti datang dari arena perang. Dan dengan tema dunia virtual yang membawa kita menjadi pemadat maya, lagu ini adalah pernyataan zaman yang paling relevan saat ini.

 
Sebuah debut solid dari band hebat, selamat datang Zat Kimia.

David Wahyu Hidayat

#CanduBaru

#ZatKimia

01
Agu
17

Panduan Pemula: The Smiths

Menurut Rolling Stone, The Smiths bubar 30 tahun yang lalu di minggu ini, dan mereka pun mengeluarkan sebuah daftar seluruh 73 lagu dalam katalog band legendaris asal Manchester ini dari yang paling tidak disukai sampai yang paling pamungkas (http://www.rollingstone.com/music/lists/the-smiths-morrissey-marr-rob-sheffield-ranks-all-73-songs-w492371)

 

Di samping itu, sebuah film yang menceritakan asal muda Morrissey sang vokalis kharismatik namun penuh kontroversi akan segera dirilis

Kedua hal itu, menggugah saya untuk mengkompilasi 10 lagu favorit saya dari band ini, dengan harapan bisa menjerat kalian yang belum pernah mendengar mereka jatuh cinta pada mereka, dan bagi mereka yang memang sudah tahu semakin mencintai The Smiths.

Inilah lagu-lagu yang menurut bahasa mereka sendiri “the songs that saved your life”

This Charming Man (dari album The Smiths)

Inti dari The Smiths adalah permainan gitar Johnny Marr dengan melodi-melodi yang menggelitik manis dan lirik Morrissey yang meskipun terdengar nyeleneh tetapi terlalu dekat dengan realita kehidupan kita. Dengarkan intro gitar lagu ini, lalu dengar Morrissey menyanyikan “I would go out tonight, but I haven’t got a stitch to wear”. Jika seseorang tidak menjadi bahagia mendengar lagu ini, sesungguhnya dia telah terhilang.

 

Still Ill (dari album The Smiths)

Intro seperti suara kereta api, lirik mengagumkan tentang memiliki sebuah negara (dalam hal ini Inggris), dan pertanyaan “Does the body rule the mind, or does the mind rule the body” adalah sebuah keadaan yang sama relevannya dinyanyikan di tahun 1983, dan di tahun 2017, di tengah-tengah kegilaan politik populis dan kecanduan virtual kita.

 

William,  It Was Really Nothing (dari Hatful of Hollow)

Banyak gitaris datang dan pergi mencoba meniru apa yang dilakukan Johnny Marr dengan gitarnya, dan sedikit pun tidak ada yang pernah setidaknya mendekati hari terburuknya. Johnny Marr adalah legenda, dan lagu ini adalah salah satu legasinya.

 

Ask (dari Louder Than Bombs)

“Shyness is nice, and Shyness can stop you From doing all the things in life You’d like to… Because if it’s not Love Then it’s the Bomb, the Bomb, the Bomb, the Bomb, the Bomb, the Bomb, the Bomb That will bring us together”. Untuk para introvert, extrovert dan seluruh umat manusia di muka bumi ini.

 

Stop Me If You Think You’ve Heard This One Before (dari Strangeway, Here We Come)

Walau judulnya terdengar tengik dan mengumbar kesombongan, lagu ini punya hak untuk mengklaimnya, karena jika seorang seperti Mark Ronson, mencomot lagu ini dan mengkomposisi versinya sendiri, maka kita semua akan tahu kekuatan pop lagu-lagu The Smiths.

 

Half A Person (dari Louder Than Bombs)

Kita semua pernah berumur 16, kikuk, dan punya mimpi untuk meninggalkan kota kelahiran kita dan tinggal di tempat yang lebih baik. Dengan lirik ” Sixteen, clumsy and shy,  I went to London and I, I booked myself in at the Y… W.C.A. I said : “I like it here – can I stay?” lagu ini mengingatkan kita akan mimpi yang tak pernah sirna itu.

 

Heaven Knows I’m Miserable Know (dari Hatful Of Hollow)

Lagu ini adalah satir kehidupan awal 20an di mana kehidupan setelah kuliah tidak selalu indah, di mana bertutur kata manis dan tersenyum terhadap orang yang mencelakakan kita adalah norma palsu yang dijalani. Tetapi melodi lagu ini sangat manis mengalun sehingga kita hanya dapat tersenyum dan menjalankan kehidupan kembali, karena apapun yang terjadi, surga tahu bahwa kita sedang berantakan, tetapi yang di atas akan selalu menyertai.

 

Cemetery Gates (dari The Queen Is Dead)

Tidak pernah lagu yang bercerita tentang pertemuan di pintu kuburan dan para sastrawan (Oscar Wilde!!!) terdengar semelodik ini dan mampu membangkitkan endorfin ke tingkat maksimal seperti lagu ini.

 

There Is A Light That Never Goes Out (dari The Queen Is Dead)

Lagu ini yang membuat saya jatuh cinta pada The Smiths. Mendengarnya di sebuah fajar musim semi di pertengahan 20an, ketika udara pagi pertama kali menembus paru-paru dan sinar mentari menerpa wajahmu, seakan untuk pertama kalinya seluruh kehidupanmu menjadi masuk akal. Jika diteliti lebih lanjut lagu ini sangat depresi liriknya (tentang mati ditabrak bis tingkat di sebelah orang yang dikasihi), tetapi pagi itu saya percaya akan ada selalu cahaya yang tidak akan pernah sirna.

 

Asleep (dari Louder Than Bombs)

Jika waktu saya meninggalkan dunia ini kelak tiba, siapapun harus memutar lagu ini di pemakaman saya. Karena mendengarnya mendatangkan kedamaian. “Sing me to sleep, Sing me to sleep, I’m tired and I want to go to bed… I want you to know Deep in the cell of my heart I will feel so glad to go… There is another world, There is a better world, Well, there must be… Bye Bye…”

 

David Wahyu Hidayat

 




Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Categories

Blog Stats

  • 162.225 hits