Arsip untuk November, 2007

08
Nov
07

Album Review: Arctic Monkeys – Whatever People Say I am, That’s What I’m Not

wpsiatwin.jpg

Arctic Monkeys
Whatever People Say I Am, That’s What I’m Not
Domino – 2006

The fastest selling debut album in UK Album Chart. Bila sebuah band Indie, berhasil melakukannya, maka ini adalah sesuatu yang mengagumkan, dan percaya atau tidak ini hanya akan terjadi di Britannia Raya. Mungkin kita harus hidup di sana untuk mengerti mengapa hal ini bisa terjadi. Bahkan seorang Robbie Williams atau Gareth Gates pun tidak sanggup untuk melakukan hal ini.

Sebuah band asal Sheffield, bernama “Arctic Monkeys” telah berhasil melakukan hal yang menurut banyak orang tidak dapat dilakukan. Ingat terakhir kali ada band dari Sheffield yang pernah menembus ingatan dunia pop kita? Sejauh yang bisa teringat hanyalah “Pulp” dengan lirik mengagumkan dari seorang Jarvis Cocker. Sebuah band yang memainkan rok ‘n’ rol ala The Libertines menjual album lebih banyak dari Sugababes di minggu pertama penjualannya, apakah yang telah terjadi? Inikah saatnya di mana suara feedback gitar menjadi kembali lebih “cool” dari goyangan diva popstar? Jika ini yang terjadi, maka inilah saatnya untuk berteriak “Hurra” dengan kedua kepalan tangan meraih langit, apapun status dan pekerjaanmu, tidak peduli apakah dirimu seorang pelajar sekolah berusia 17 tahun, atau seorang insinyur di perusahaan IT yang besar. Inilah saatnya kita kembali mendengarkan musik yang berati bagi diri kita.

Karena mendengarkan debut album “Arctic Monkeys” kita akan dibawa meledak ke sebuah luapan perasan yang tidak akan kita bayangkan. Mereka yang berumur 17 tahun, dan terlalu muda untuk mengenal seorang Liam Gallagher, Ian Brown, dan Stephen Patrick Morrissey, akan menemukan sesuatu yang berarti di hidupnya mendengarkan suara gitar di album ini. Mereka yang berusia 27 tahun, akan secara tidak sadar menghentakkan kakinya penuh ekstase, sambil tersenyum puas di depan layar komputer di tempat bekerja mereka, karena album inilah yang mengantarkan perasaan mereka kembali ke 10 tahun yang silam.

“Whatever People Say I Am, That’s What I’m Not” adalah sebuah album untuk berdansa. Lagu – lagu seperti “I Bet You Look Good On The Dancefloor”, “Fake Tales Of San Fransisco”, “Dacing Shoes” ataupun “Still Take You Home” adalah sebuah jaminan mutu pengisi lantai dansa di sebuah malam Indie di diskotek kesayangan kalian. Kuartet yang konon masih berusia 19 tahun ini, tidaklah mencoba memoles perasaan mereka dalam setiap lagunya, yang keluar hanyalah sebuah sensasi untuk terus menikmati kehidupan yang nyata.

“Arctic Monkeys” adalah sebuah fenomena di mana rockstar dihasilkan oleh sebuah acara televisi dan tidak membawa hasil. Dengan menyebarkan demo musik mereka melalui Internet, “Arctic Monkeys” berhasil menjual habis arena konser legendaris di London “Astoria”, sebelum mereka mengeluarkan album mereka. “Arctic Monkeys” telah mengembalikan arti “Music For The People”, seperti yang dilakukan Oasis dengan “Definitely Maybe” di tahun 1994. Ini adalah jawaban terbaik musik yang bisa diberikan kepada dunia industrinya yang panik terhadap kemajuan tehnologi.

Walaupun, ini bukanlah debut album terbaik sepanjang masa, tetapi ini adalah album yang akan mendefinisikan sebuah era baru, yang akan kembali memberikan inspirasi kepada generasi 17-an di saat ini. Paling tidak album ini akan membuat kita berdansa dengan tersenyum puas, dan sekali lagi merentangkan kepalan tangan kita ke langit. Apapun yang terjadi, ini adalah album yang harus dimiliki, karena album ini adalah kemenangan kita, saatnya untuk berpesta!

David Wahyu Hidayat

07
Nov
07

Album Review: Radiohead – In Rainbows

radiohead-in-rainbows.jpg

Radiohead
In Rainbows
Tanpa Label – 2007

Belasan, puluhan, ratusan band mempertaruhkan apa yang mereka miliki, menggali inspirasi terdalam untuk menjadi yang terbaik. Untuk mendapatkan pengakuan massa dan kritikus kalau mereka adalah band terbaik sepanjang masa, dan musik mereka diakui sebagai sesuatu yang mendefinisikan sebuah generasi. Banyak dari band – band tersebut gagal memenuhi ekspektasinya sendiri. Mereka yang bernasib sial itu lalu lenyap begitu saja ditelan waktu.

Tetapi sebuah band, pernah mengantarkan album yang diakui sebagai yang terbaik sepanjang masa di tahun 1997. Album tersebut dinamakan “OK Computer”, mendefinisikan bahwa kekompleksan sebuah musik dengan gitar ternyata mampu menjamah massa. Album itu menjatuhkan kerajaan bernama “Britpop” dan tetap menjadi salah satu karya musik paling diakui kejeniusannya sampai sekarang. Tanpa ciri khas alunan vokalisnya di album itu dan album sebelumnya, kita tidak akan pernah mengenal Coldplay atau bahkan James Blunt sekalipun.

Di awal millenium, mereka sekali lagi mengantarkan sebuah mahakarya. Dipenuhi dengan berbagai efek, suara band tersebut seperti datang dari luar angkasa, vokalisnya tidak lagi melantunkan falsetto yang menjadi ciri khasnya. Di album berjudul “Kid A” tersebut, ia seperti seorang robot yang diculik oleh alien. Album itu merupakan penegasan Radiohead kepada dunia, bahwa mereka tidak akan berhenti berkarya hanya pada sebuah pola saja. Album itu mengejutkan, dan di sisi lain sangat optimis dan penuh keajaiban.

7 tahun setelahnya. Industri musik berubah. Web 2.0 adalah kata kunci tidak hanya di kehidupan dunia maya kita, tetapi juga untuk industri musik dan dunia artistik lainnya. Masih kental di ingatan kita, bagaimana sepak terjang Arctic Monkeys diawali dengan sejumlah fans yang mengunggah lagu mereka di MySpace. Dan bukan Radiohead namanya, bila mereka berhenti untuk melawan batasan dan paradigma yang ada.

Dengan tidak didukung oleh satu label rekaman satu pun (paling tidak untuk saat ini) mereka merilis album terbaru mereka “In Rainbows” melalui internet dalam situs ofisial album tersebut www.inrainbows.com. Uniknya mereka yang akan mengkonsumsi album tersebut dapat memilih harga yang akan mereka bayarkan, bahkan gratis sekalipun. Album yang terdiri dari 10 file MP3 dengan 160 Kbps itu, juga tidak disertai dengan DRM, yang berarti sang pemilik file bebas mendistribusikannya ke orang lain, sehingga mengunduhnya di luar dari situs ofisial tersebut, bukanlah perbuatan yang ilegal. Tindakan ini seperti mengantisipasi kejadian seringnya album – album musik yang bocor duluan kepada para pembajak, sebelum dirilis secara resmi. Dengan keputusan Radiohead memberikan kebebasan kepada para fansnya, apakah mereka akan membayar untuk “bocoran” tersebut atau tidak, seperti memberikan sebuah sinyal kepada industri musik yang panik dan bingung menghadapi hal ini. Radiohead membuktikan bahwa tehnologi bukanlah musuh, tetapi sebuah fasilitas untuk memperluas audiens musik mereka.

Cukup berbicara tentang web 2.0 dan kenistaan kehidupan modern, bagaimana dengan musik yang disodorkan “In Rainbows” sendiri? Seperti yang disebutkan di awal tulisan ini. Banyak band boleh mencoba untuk mengklaim sebagai yang terbaik, tapi cukup dengan 42:34 menit yang disodorkan Radiohead dalam album ini, mereka semua yang mencoba, hanya akan dapat bermimpi untuk dapat mengantarkan sebuah karya sesempurna ini.

Kita berpikir setelah “Kid A” mereka tidak akan dapat mengejutkan kita lagi. Tetapi begitu mendengar suara pertama dalam “15 Step” kita hanya dapat ternganga dan berkata “Sial, bagaimana mungkin mereka selalu dapat melakukannya lagi?”. Lagu kedua “Bodysnatchers” diawali dengan suara gitar yang sangat berat seperti hendak meledakkan amplifier yang dipakai oleh kedua gitaris mereka Ed O’Brien dan Johnny Greenwood. Walaupun tidak pernah ditinggalkan, Radiohead seperti menekankan di lagu ini, kalau mereka selalu mencintai gitar, seperti yang pernah mereka lakukan di “The Bends” dan “OK Computer”. Track selanjutnya, “Nude” adalah tipikal lagu Radiohead yang akan selalu mencekam menghantui kita, tapi di satu sisi memberikan perasaan optimis yang sangat aneh. Seperti keluar dari dalam cengkraman alien, Thom Yorke dengan sangat pilu bernyanyi “Now that you’ve found it’s gone/Now that you feel it, you don’t”. Sebuah keindahan dalam kepiluan.

“Reckoner” didasari oleh suara gitar lembut yang terus berputar tanpa lelah merasuki alam bawah sadar kita. Suara drum Phil Selway di latar belakang bak seperti air hujan yang memecah kesunyian, vokal Thom Yorke melengkapi semuanya itu, mendesak menyadarkan kita, sambil berkata “You’re not asleep/You’re not dreaming”. Di lagu berikutnya “House Of Cards”, Radiohead memberikan kita sebuah perasaan yang jarang kita temukan dalam lagu mereka. “I don’t want to be your friend/I just want to be your lover” lirih Yorke di lagu tersebut. Entah mengapa, untuk satu alasan tertentu, lagu itu terkesan seperti datangnya sebuah musim gugur di dalam sendunya bulan Oktober. Setelah lagu tersebut, album ini ditutup dengan perpaduan kontras antara “Jigsaw Falling Into Pieces” yang bertempo cepat sambil meleburkan semua elemen musik Radiohead yang memukau telinga dan “Videotape” yang dentingan pianonya lambat laun mengantarkan kita kepada akhir yang tak mau kita temui, diiringi suara Yorke yang menyanyikan “This is my way of saying goodbye/Because I can’t do it face to face/I’m talking to you after it’s too late”.

Ini adalah album di mana Radiohead dengan cerdas dan cermat memadukan semua elemen musik yang mereka punyai, sambil mencoba menemukan jalan baru untuk menemukan tempat yang belum mereka singgahi. Semua band lain boleh saja mencoba, tapi album ini tanpa dapat ditantang dan ditandingi adalah album terbaik 2007. Sekali lagi, seperti yang sudah lalu, mereka kembali berhasil menghadirkan sebuah kejeniusan. Dengarkan dan biarkan kalian terpana karenanya.

David Wahyu Hidayat

07
Nov
07

Album Review: Pure Saturday – Time For A Change, Time To Move On

pure-saturday-time-for-a-change-time-to-move-on.jpg

Pure Saturday
Time For A Change, Time To Move On
Lil’Fish Records – 2007


Satu dekade lamanya kita telah mendengarkan musik yang membolehkan kita kembali untuk bermimpi. Sebuah musik yang akan selalu mendefinisikan suatu rentang waktu, di mana kita pernah tersenyum menikmati segala kemudaan kita yang naif tanpa keresahan sekejap pun.

Masih teringat ketika pertama kali mendengarkan musik band yang tidak bisa lain selain disebutkan dengan kata legendaris bernama Pure Saturday itu. Hati seakan tidak tertahan membendung luapan perasaan euphoria optimismus dan seperti yang sudah disebutkan di atas, akan perasaan untuk mengejar impian masa muda. Hari-hari itu, di mobil dalam perjalanan menembus Jakarta, di rumah, dan setiap langkah kehidupan kita, melodi dari band asal Bandung itu selalu setia menyertai.

Pure Saturday adalah legenda. Tidak akan ada perdebatan lagi tentang hal itu. Tanpa Pure Saturday, band-band indie negara tercinta ini, yang sekarang banyak hadir di pemutar musik portabel kita dan dijual CD-nya oleh toko buku barometer hip kalangan tertentu anak muda Jakarta, tidak akan pernah terbentuk.

Bagi banyak orang, mereka sebegitu berpengaruhnya dalam kehidupan, sampai ketika pita kaset album pertama dan kedua mereka tidak lagi dalam kondisi layak dengar, usaha melestarikan musik penyelamat masa 90-an itu dilakukan, sehingga walaupun dengan suara mengendap musik mereka pun akhirnya masih bisa dinikmati dalam format mp3. Tidak terbayangkan harus melewati satu dekade tanpa musik mereka.

Tapi dengan dirilisnya album “Time For A Change, Time To Move On”, kita tidak perlu lagi mendengarkan file-file mp3 itu, yang terkadang tidak seimbang suaranya antara speaker headphone kiri dan kanan. Dengan berisikan 10 lagu yang diambil dari ketiga album mereka ditambah 2 lagu baru, album ini berfungsi sebagai sebuah retrospektif. Bagi mereka yang mencintai band tersebut, lagu-lagu yang ada di situ tidak perlu diceritakan lagi. Semuanya bermakna, semuanya menceritakan kisah tertentu dalam 11 tahun yang telah berlalu sejak dirilisnya debut album mereka. Untuk mereka fans-fans baru Pure Saturday, album ini adalah sebuah dokumentasi penting akan sebuah era. Akan sebuah keajaiban melodi dari Bandung.

Desember 1996. Di sebuah hari Sabtu, hujan deras mengguyur Jakarta sejak pagi. Tapi itu tidak menghalangi pagelaran sebuah pensi sekolah homogen di kawasan Kebayoran Baru. Menjelang malam, hujan berhenti. Rumput masih basah tergenang air. Band yang dijadwalkan menutup pensi hari itu, tidak lain adalah Pure Saturday. Panitia dan pengunjung lelah, seakan sudah tidak semangat lagi melihat aksi band apapun, yang diidamkan hanyalah hangatnya tempat tidur. Tetapi ketika suara nyaring gitar akustik Suar menyapa dinginnya malam itu, orang –orang berlarian secara serentak ke arah panggung. Tanpa terkecuali. Kepenatan tiba-tiba sirna. Malam tampak bersahabat diiringi oleh musik Pure Saturday. Senyum terkembang di bibir. Di sekellilingmu, teman-teman terdekatmu, pengunjung, orang-orang yang tak dikenal, semua hanya menunjukkan satu hal di muka mereka. Kebahagiaan yang tak terlukiskan. Kebahagiaan murninya sebuah Sabtu.

Malam itu Pure Saturday telah mengantarkan sesuatu yang akan selalu diingat, dan album restrospektif ini mengembalikan semua kenangan itu. Mungkin bila boleh meminjam, kata-kata John Harris tentang “The Stone Roses”, adalah sesuatu yang paling tepat untuk mendeskripsikannya. “(Pure Saturday) created as much magic as any of them. Tell your grandchildren”.

David Wahyu Hidayat

07
Nov
07

Album Review: Ian Brown – The World Is Yours

ian_brown-the-world-is-yours.png

Ian Brown
The World Is Yours
Polydor – 2007


Di suatu subuh, kira-kira satu dekade yang silam untuk pertama kalinya saya mendengarkan The Stone Roses. Yang terdengar waktu itu adalah musik sebuah band yang akhirnya menduduki tempat teratas “Top 5” band favorit sepanjang masa dalam daftar pribadi saya. Mereka, The Stone Roses, mendefinisikan sebuah suara yang secara tidak langsung selalu saya cari dalam sebuah band, begitu menghempaskan. Sebuah suara keajaiban.

Waktu itu, band legendaris asal Manchester tersebut telah bubar. Sang vokalis, Ian Brown sedang mempersiapkan dirinya untuk melanjutkan karirnya sebagai seorang solo artis. Ia tidak rela kecintaannya pada musik terkubur begitu saja bersama The Stone Roses. Hasratnya masih membara, ia ingin mengantarkan musik yang selama ini selalu berada di kepalanya, penuh dengan beat tanpa menghilangkan ciri khas vokal yang ia punya sejak bersama The Stone Roses.

Bukan rahasia lagi, kalau Ian Brown dan gitaris The Stone Roses John Squire di masa-masa akhir band tersebut, meributkan ke mana arah band itu akan menuju. Squire tergila-gila dengan riff gitar megah ala Led Zeppelin, sedangkan Ian Brown menuju kepada musik dansa yang bisa dinikmati anak-anak indie tanpa harus malu kehilangan identitas. Dengarkan saja “Begging You” atau track legendaris mereka “Fools Gold”.

Dan jalan inilah yang dipilih oleh Ian Brown. Di Seluruh karya solonya ia menganimasikan dan juga mengeksplor beat dan sample, berusaha untuk menciptakan “Fools Gold” lainnya, dan hasilnya sampai saat ini tidak mengecewakan. Sadar akan kemampuan vokalnya yang terbatas, ia memilih untuk menyerang dengan senjata terbaiknya, sengatan beat mematikan yang akan membuat orang akan berkata, “Ini adalah musik Ian Brown, ia bukan hanya sekedar mendompleng ketenaran The Stone Roses”.

“The World Is Yours” mengeksibisikan semua yang dipuja Ian Brown secara pribadi. Single pertamanya “Illegal Attacks” yang juga menampilkan suara Sinead O’Connor, merupakan pandangan dunianya terhadap keadaan sekarang ini. Di lagu ini ia bernyanyi dengan latar belakang orchestra yang megah, memprotes politik luar negeri Inggris “So what the fuck is this UK/Gunnin’ with US of A/In Iraq and Iran and in Afghanistan/…./It’s a commercial crusade/’Cause all the oil men get paid/…/These are illegal attacks”. Ia tidak ingin dianggap sebagai mesias untuk generasi Madchester saja, seperti musisi-musisi besar sebelum dirinya, ia menggunakan musik sebagai alat protes.

Dalam track yang lain yang juga menfiturkan vokal Sinead O’Connor “Some Folks Are Hollow” ia seperti berusaha mendobrak pandangan tentang suatu skema tertentu terhadap agama. Tapi bukan itu saja yang dicobanya, dengan suara gitar “backward” yang muncul sesekali di lagu ini, dicampur dengan suara drum dan loops, lagu ini menampilkan ambien ciri khas Ian Brown yang membawa kita untuk kembali menerawang di sebuah subuh.

Percumbuan loops, gitar dan vokalnya itu, ia lanjutkan dalam “Me And You Forever”. Beat awal dalam “Eternal Flame” nyaris membawa kita dalam dugaan salah, bahwa ini adalah lagu dari sebuah artis hip-hop, sebelum suara Ian Brown memenuhi lagu tersebut. Tetapi sebenarnya di sinilah letak kelebihan dirinya. Ia tidak malu untuk mengeksplor hal lain, tanpa menghilangkan statusnya sebagai seorang legenda. Hal serupa juga dirasakan dalam intro “Sister Rose”, hanya saja yang terasa bukanlah sedang mendegarkan sebuah lagu hip-hop, tetapi soundtrack sebuah film monochrome. Di “On Track” ia menyampaikan pesan kehidupannya sekali lagi kepada kita “Just as life is for living/So love is for living/…/If you don’t give you don’t get/Didn’t you learn that yet?”

Dengan album ini Ian Brown mengukuhkan dirinya. Ia tidak mempedulikan yang orang pikirkan, ia hanya ingin menyampaikan pesannya, menunjukkan kepada dunia inilah musik yang ia cintai, dan dengan ini ia akan selalu memiliki dunianya. Ia telah kembali. Hail to the King Monkey!

David Wahyu Hidayat

07
Nov
07

Album Review: The Coral – Roots & Echoes

the-coral-roots-and-echoes.jpg

The Coral
Roots & Echoes
Deltasonic – 2007


Anfield, di sebuah sabtu sore. 2 orang fans si merah mencoba membunuh waktu sebelum pertandingan dimulai dengan membicarakan betapa mereka mencintai salah satu lagu dari sebuah band lokal bernama The Coral. Sebegitu antusiasnya mereka menunggu wasit meniupkan peluit tanda dimulainya pertandingan, sebegitu berapi-apinya juga mereka memuja band tersebut. Seorang pemuda yang berdiri tepat di sebelah mereka, hanya tersenyum simpul sepanjang pembicaraan itu terjadi. Pemuda itu adalah James Skelly, vokalis dari band yang dibicarakan kedua fans tersebut.

Dengan 4 top 5 album dan 8 top 40 singles di Britannia Raya, James Skelly dan seluruh personil The Coral lainnya masih dapat menikmati luksus bernama keanoniman yang membolehkan mereka berlaku normal seperti orang lainnya, seperti menonton kesebelasan favoritnya tanpa harus takut dikenali dan diusik siapapun. Tapi keanoniman tidak membuat mereka berhenti dipuja secara diam-diam, bahkan dari seorang Noel Gallagher sekalipun. Sebegitu terkesimanya “The Godfather of Britpop” itu akan The Coral, sehingga ia rela meminjamkan studionya tanpa bayaran sepeser pun, agar keenam anak muda yang terlalu banyak mendengarkan koleksi rekaman dari era ayah mereka dengan asap ganja yang mengepul, untuk membuat album kelima mereka “Roots & Echoes”.

Dan hasilnya sama sekali tidak mengecewakan. Kumpulan sebelas lagu yang ada di album tersebut, melanjutkan tradisi The Coral mengirimkan melodi – melodi “Sea Shanty” yang memabukkan tanpa batas waktu yang menghalangi. Album ini seperti juga album The Coral lainnya berfungsi seperti sebuah mesin waktu untuk kembali ke tahun 60-an, bahkan sampul depan album tersebut berkesan seperti sebuah kiriman dari masa lalu. Klasik.

“Who’s Gonna Find Me” yang dipilih sebagai single pertama dan pembuka album ini, memberikan warna “Northern Soul” yang cukup kental, dan bukan tidak mungkin suatu waktu nanti, lagu ini akan menjadi penghias “footage” gol-gol indah Liverpool di musim ini. “Put Your Sun Back” dan single kedua mereka “Jaqueline” adalah nomor-nomor khas The Coral dengan vokal indah James Skelly yang membius nalar. Di lagu yang disebutkan terakhir, The Coral seperti membuktikan diri mengapa band yang seperti berada di jaman yang salah, mampu menjual hasil rekaman sebanyak yang mereka jual. Karena “Jaqueline” adalah sebuah lagu pop sederhana berdurasi tiga setengah menit yang akan membuat kita bersenandung tanpa sengaja di pagi hari ketika kita akan berangkat ke kantor. Sesederhana itu. Pop dalam wujud yang seharusnya.

Beberapa lagu dalam “Roots & Echoes” seperti “Cobwebs” dengan gitarnya yang tertawa riang atau “Rebecca You” dengan melodinya yang menenangkan berfungsi seperti sebuah obat yang ampuh untuk keresahan jiwa. Sementara di lagu seperti “In The Rain” yang bertempo lebih cepat daripada kebanyakan lagu di album ini, yang terasa adalah kebalikannya. Dengan menyanyikan “I am stranger in this life, haunted by yesterday desires”, Skelly seperti memberikan suara kepada pendengarnya tentang kegusaran hidup yang dialaminya. Di tengah umurnya yang baru 26 itu, ia tidak berusaha memberikan jawaban, ia hanya melakukan apa yang terbaik ia lakukan, memberikan musik untuk mengusir kegalauannya itu.

The Coral tidak berusaha mendefinisikan baru musik mereka di “Roots & Echoes”. Mereka bermain dalam keabadian nada mereka, berusaha untuk menjadi seklasik mungkin tanpa harus meninggalkan sentuhan pop yang mereka miliki, dan disengaja atau tidak, seiring dengan seringnya kita mendengarkan album tersebut, nada-nada tersebut lambat laun akan berakar dan menggaung dalam diri kita, mencoba untuk berkata-kata, menembus jiwa.

David Wahyu Hidayat

07
Nov
07

Album Review: Maps – We Can Create

maps-we-can-create.jpg

Maps
We Can Create
Mute – 2007


Sebuah album dari seorang yang berkata “I love my Ipod, but I still buy CDs” sudah pasti bukan merupakan sesuatu yang sampah atau? James Chapman, orang yang berdiri di belakang Maps mendefinisikan baru arti “Shoegazer” di tahun 2007 ini. Akhirnya setelah nostalgia tanpa henti dengan album – album dari Ride dan My Bloody Valentine, orang – orang yang memproklamirkan diri mereka sebagai sebuah “scene that celebrates itself” mempunyai soundtrack baru untuk menatap kembali sepatu-sepatu yang pernah atau sedang singgah di dunia mereka.

“We can create” sebegitu mencengangkannya bahkan para juri mercury award pun menominasikannya sebagai album terbaik tahun ini. Track yang menjadi pembuka album ini, “So Low, So High” langsung akan membawa kita kepada sebuah perasaan mengawang, tanpa rasa, kehilangan pijakan. Lagu tersebut kemudian disusul dengan “You don’t know her name” yang melanjutkan perasaan tersebut ke sebuah mimpi terabsurd dan terindah kita di tengah sebuah siang bolong.

Dalam sebuah wawancaranya dengan liberationfrequency.co.uk, Chapman mengatakan “I wanted to write a positive album though- as euphoric and uplifting as possible…It’s about escapism- whether that’s through music or drugs or whatever”. Dan menyimak setiap lagu dalam album tersebut satu-persatu, perasaan yang timbullah hanyalah anggukan setuju atas pernyataan Chapman tersebut. Bahkan di lagu – lagu yang bertempo relativ lebih pelan seperti “Glory Verse” dan “Lost My Soul” pun, Chapman masih mampu menghipnotis kita dengan suara vokalnya yang menyeret malas.

Sulit dibayangkan, bila ia membuat album ini sepenuhnya hanya dibatasi oleh 4 tembok tempat tidurnya. Terutama mendengarkan lagu seperti “To The Sky” dan “Back+Forth” yang berpotensi menjadi anthem-anthem baru shoegazer dengan nada-nada melodis penuh mimpinya dan puluhan beat serta hentakan drum yang mendenterminasi kita dengan sangat di lagu yang disebutkan terakhir.

Ketika lagu tersebut memasuki 2 track terakhirnya “Don’t Fear” dan “When You Leave” album tersebut dituntaskan dengan sangat megah. Mungkin tidak akan ada album yang diakhiri semegah itu di tahun 2007 ini. Dan ketika suara Chapman yang menyanyikan “When you leave, I ain’t coming/What you have, comes to nothing” pelan-pelan surut di lagu terakhir tersebut, digantikan oleh suara burung-burung berkicau, semuanya seakan terdengar seperti seharusnya. Seperti suara pagi hari yang baru. Euphoric and Uplifting. Dan kita pun tidak bisa melakukan hal lain selain tersenyum.

David Wahyu Hidayat

07
Nov
07

Album Review: Maximo Park – Our Earthly Pleasures

maximo-park-our-earthly-pleasures.jpg

Maximo Park
Our Earthly Pleasures
Warp – 2007


Dari ketiga pionir gerakan “The new Britpop” (itu jika kalian mau menamakannya seperti itu), mungkin Maximo Park menempatkan dirinya di posisi yang paling unik dan berbeda. Kaiser Chiefs akan selalu menjadi band di kelompok itu yang menampilkan sisi komersil paling besar. Mereka tidak malu untuk itu, dan terus terang mereka berjuang untuk hal itu. Bloc Party akan selalu mendapatkan tempat di hati mereka pemuja musik yang lebih imajinatif dan cerdas. Sedangkan Maximo Park? Mereka seperti hilang di tengah-tengah kedua band tersebut.

Lirik dan penampilan vokalis mereka Paul Smith dengan segala ke-“dandy”-annya dan wujud pembawaan yang terkesan sangat “Wilde”-esk seperti selalu membawa kebingungan di tengah para pendengarnya. Sedangkan di lain sisi, petikan gitar Duncan Lloyd yang terkadang mengingatkan kita pada seorang legenda hidup bernama Johnny Marr begitu menggoda, membuat kita selalu yakin ada sesuatu yang lain tentang band asal Newcastle ini. Dan satu hal yang pasti, mereka selalu dapat menyampaikan pesan artistik mereka dalam setiap sampul album dan single yang mereka rilis.

Adalah lagu – lagu seperti “Postcard Of A Painting”, “The Coast Is Always Changing” dan “Kiss You Better” yang membuat kita selalu teringat akan kegemilangan Maximo Park di tahun 2005. Di album baru mereka ini, yang diberi judul sangat menggoda “Our Earthly Pleasures”, dan sekali lagi dengan sampul depan yang brilian, kita kembali ingin diberikan harapan, untuk membela mereka di posisi “underdog” mereka, di tengah-tengah persaingan band-band lain yang melintasi universum musik kita.

Setidaknya untuk urusan mengantarkan kembali trik – trik gitar yang berwarna “Marr”-esk, mereka kembali berhasil dalam single kedua yang mereka rilis dari album itu “Books From Boxes”. Dimulai dengan petikan manis menggoda, Smith kemudian bernyanyi “We can beat the sun as long as we keep moving”, seakan ia tahu hal itu tidak akan pernah terjadi, tetapi untuk apapun alasannya, hal itu adalah sesuatu yang patut untuk dipertaruhkan. Untuk lagu seperti ini, Maximo Park hadir di hidup kita.

Mundur sejenak ke awal album tersebut, “Girls Who Play Guitars” memberikan warna awal bagaimana album ini akan dilukis, ritem gitar yang menderteminasi ditambah suara synth/keyboard Lukas Wooler di latar belakang, mendefinisikan musik Maximo Park seperti yang kita tahu. Single pertama mereka “Our Velocity” dimulai dengan suasana yang tidak pada tempatnya, seperti terlalu dapat diprediksi. Tapi di saat kita mengira bahwa Maximo Park tidak beranjak dari tempat mereka berpijak dua tahun yang lalu, lagu tersebut tiba-tiba mengejutkan telinga kita memasuki menit 01:50. Lagu itu seperti keluar dari persembunyiannya di menit itu, dan melesat seperti Lewis Hamilton meninggalkan semua lawan-lawannya.

“Nosebleed” boleh dibilang adalah salah satu karya terbaik yang pernah dihasilkan Maximo Park di album ini. Memang ini bukan “The Coast Is Always Changing” MK II, tapi lagu ini penuh dengan melodi, dan lirik dari Paul Smith yang kadang memilukan tapi sekaligus mencengangkan, seperti seorang yang kehilangan seseorang yang tadinya selalu bersamanya ke pelukan orang lain “He changed his looked for you/You changed your life for him/Now, was the verdict worth the trial?”.

Album ini tidak akan menempatkan posisi Maximo Park sebagai penyelamat generasi ini. Mereka akan tetap menjadi “underdog” abadi angkatan 2005. Tapi mungkin dengan begini, mereka yang paling lama akan bertahan. Tidak akan ada yang tahu. Terkadang menjadi “underdog” adalah posisi yang menyenangkan. Dan paling tidak, bila musik mereka tidak menggerakkan kita, sampul-sampul depan album dan single mereka akan selalu menghibur kita.

David Wahyu Hidayat

07
Nov
07

Album Review: Bloc Party – A Weekend In The City

bloc-party-a-weekend-in-the-city.jpg

Bloc Party
A Weekend In The City
Wichita/Vice/V2/Indosemar Sakti – 2007


1995, Britpop adalah sebuah kerajaan yang memerintah di dunia musik sebagian besar mereka yang merasakan puncak umur belasannya di tahun itu. Perasaan positif penuh keoptimisan menghiasi pikiran kita saat itu. Seperti hendak tahu, bahwa sebentar lagi, waktu millenium baru datang, segala macam tehnologi yang ditawarkannya akan membuat kehidupan kita menjadi lebih baik, lebih megah dan mengagumkan.

Satu dasawarsa kemudian, yang terjadi adalah kebalikannya. Dimulai ketika sepasang burung besi menabrakkan tubuhnya ke menara kembar di ibu kota dunia, kehidupan manusia menurun standarnya. Tehnologi tidak dapat lagi menyelamatkan kita, hanya membuat kita terjerat dalam kerutinitasan dan menjadi bentuk lain dari candu yang kita butuhkan dalam kehidupan kita.

Untungnya, musik selalu memberikan kita ruang untuk melarikan diri. Sebuah penyelamat di hari – hari menyedihkan yang kita alami. Di tahun 2005, sebuah band bernama Bloc Party memberikan kita “Anthem” untuk merayakan kehidupan yang kita punya, walaupun kita merasa kehidupan itu bukanlah sesuatu yang mudah. “Banquet” menghiasi malam – malam yang terhilang di atas lantai disko dengan tangan meraih ke langit. Seakan harapan dan optimisme itu hadir kembali. Seakan.

2 tahun kemudian, mereka kembali hadir di kosmos kehidupan kita. Kali ini bukan sebagai pelarian di kepenatan kita, tetapi untuk menyadarkan kita bahwa keoptimisan yang pernah kita miliki di tahun 90-an telah lenyap, sirna dimakan waktu yang semakin mendewasakan kita.

“A Weekend In The City” adalah album yang ditulis oleh Kele Okereke, Russell Lissack, Gordon Moakes dan Matt Tong untuk kehidupan mereka dalam jaman modern, terutama di London. Bagi kita yang tidak tinggal di kota tersebut, rumusan album ini berlaku di tempat mana saja yang kita diami saat ini.

“Song For Clay (Dissappear Here)” mengawali album ini sangat menyesatkan dengan vokal Kele yang terdengar terlalu lembut untuk pembuka sebuah album. Memasuki pertengahan lagu di menit 02:19, didengarkan dengan seksama, kita akan mendengarkan sentuhan – sentuhan hasil karya Russell Lissack di gitarnya, yang memimpin lagu itu menanjak menuju klimaksnya. Menit 03:42 Kele berteriak “East London is a vampire, it sucks the joy right out of me”. Ganti “East London” dengan Jakarta, atau kota apapun di manapun kalian tinggal. Dengan segala kemacetan dan rutinitas pekerjaan kita, lagu ini dengan sempurna menggambarkan keresahan seorang muda di kota yang ia tinggali.

Suara sample mengawali “Hunting For Witches” disusul dengan lick “Helicopter”-esk dari gitar Lissack. Lagu yang menggambarkan kekuasaan media dan dunia yang kita tinggali, meracuni kita untuk tidak lagi berpikir secara liberal, di lagu ini Kele bernyanyi “Kill your middle class indecision, now is not the time for liberal thought….1990’s optimistic as a teen, but now it’s terror, airplanes crash into towers”. Tidak usah berpikir jauh tentang London dengan serangan bom 07 Juli 2005 ataupun New York pada 9 September 2001. Disadari atau tidak, hal yang sama terjadi di kota kita tinggali. Pola pikir liberal kita diputarbalikkan oleh media dan buku yang kita baca. Kita lebih senang mengurusi majalah berlambang kepala kelinci daripada menghadapi bahaya lain yang menyerang kita. Kita membiarkan “Mein Kampf” dijual bebas, padahal kita sangat merindukan sebuah kehidupan yang harmonis di tengah – tengah masyarakat majemuk ini. Apakah yang sebenarnya kita buru? Nenek sihir manakah yang sebenarnya hendak kita perangi? Kebebasan untuk berekspresi dan berpikir? Atau hal – hal tidak penting seperti cara berpakaian seseorang?

Pada masa pembuatan album ini, Kele mengakui “Busta Rhymes” adalah salah satu inspirasi mereka dalam proses penciptaan sebuah lagu. Lagu itu tidak lain adalah “The Prayer”. Memang pertama kali didengar, lagu ini sanggup mengernyitkan dahi, dan melontarkan pertanyaan “inikah Bloc Party sekarang?”. Tapi seperti lagu – lagu lainnya di album ini, “The Prayer” memiliki waktu paruh yang lebih lama dari banyak lagu yang sedang berseliweran saat ini di planet musik, dan dari situlah setelah didengarkan berulangkali, lagu ini dan album ini secara keseluruhan memunculkan efek “A…haa…menarik”-nya. Dibandingkan dengan nomor seperti “She’s Hearing Voices”, gitar di lagu ini seperti terlalu sederhana, tetapi diselidiki lebih lanjut, di sinilah letak keindahan “The Prayer”. Untuk sesaat di menit 02:54 Lissack menyeret gitarnya dengan efek seperti dari sebuah pistol laser, hasilnya adalah sebuah seni untuk telinga.

Melewati seperempat abad di umur kita, banyak pertanyaan yang hendak kita tanyakan ke diri sendiri dan generasi muda saat ini. “All the young people look the same” nyanyi Kele dengan pelan di awal dan akhir lagu ini. Cukup pergi ke salah satu pusat perbelanjaan, kita akan mengiyakan hal ini. Diakui sebagai sentral album kedua mereka, “Uniform” mencoba menjawab pertanyaan mereka yang sedang mengalami “mid-20 crisis”. Lagu ini mencoba menjelaskan untuk hidup lebih sederhana, dan tidak memikirkan hal – hal yang tidak harus dipikirkan (“So why do you picking fights that you will lose? When you have entertainment, when you have things to pass the time. So why do you have to go thinking thoughts that are above you, you can be happy just play dumb”).

Di paruh kedua album ini Bloc Party mengurangi sedikit unsur eksperimentalnya kecuali di “Where Is Home” di mana gitar pada salah satu bagian di lagu tersebut, gitarnya terdengar seperti sebuah senapan mesin. “Kreuzberg” adalah lagu manis yang akan membuat kita melayang, sedangkan “Sunday” adalah lagu indah untuk sebuah Minggu pagi bersama yang kita cintai. Di tengah – tengah kebenciannya terhadap kehidupan modern, di lagu tersebut, kita akan menemukan sisi romantisme lain dari seorang Kele Okereke, “There might be ones who are smarter than you, that have the right answers, that wear better shoes. Forget about those melting ice caps, we’re doing the best with what we’ve got”. Kata – kata ini hanya mendeskripsikan satu hal, indah.

Secara pesan, album ini adalah teriakan kesesakan Bloc Party akan kehidupan modern, akan keseragaman mereka yang menganggap dirinya muda, akan keresahan untuk mendapatkan sesuatu yang selalu diinginkan. Musikalis, di album ini Bloc Party berani menantang fansnya sendiri untuk mendengarkan musik yang sedikit lebih sulit untuk dicerna daripada yang mereka sodorkan di “Silent Alarm”. Tetapi setelah menginvestasikan waktu sedikit untuk mengeksplorasi album ini, mutiaranya akan terungkap, dan kita akan terkagum akan usaha mereka memberikan kita album seperti “A Weekend In The City”.

David Wahyu Hidayat

07
Nov
07

Album Review: Arctic Monkeys – Favourite Worst Nightmare

arctic-monkeys-favourite-worst-nightmare.jpg

Arctic Monkeys
Favourite Worst Nightmare
Domino – 2007

Setahun yang lalu, di blog yang sama yang sedang kalian baca ini, tertulis ulasan tentang sebuah debut album dari sebuah band yang kita kenal sekarang dengan nama Arctic Monkeys. Album itu begitu mempesonakan banyak orang dengan serangan rok n’ rol bercampur funk yang kurang ajar, membuat mulut pendengarnya tercengang, adrenalin di darahnya terpacu dan menghantarkannya pada sebuah ekstase.

Waktu itu, di blog ini tertulis demikian mengenai album yang berjudul “Whatever People Say I am, That’s What I’m not” itu:

“…mendengarkan debut album “Arctic Monkeys” kita akan dibawa meledak ke sebuah luapan perasan yang tidak akan kita bayangkan. Mereka yang berumur 17 tahun …. akan menemukan sesuatu yang berarti di hidupnya mendengarkan suara gitar di album ini. Mereka yang berusia 27 tahun, akan secara tidak sadar menghentakkan kakinya … sambil tersenyum puas di depan layar komputer di tempat bekerja mereka, karena album inilah yang mengantarkan perasaan mereka kembali ke 10 tahun yang silam …. album ini adalah kemenangan kita, saatnya untuk berpesta!”

Saat ini, hanya terpaut 14 bulan kemudian semuanya itu terasa seperti sebuah mimpi di siang bolong. Terlalu cepat berlalu, seakan pesta itu telah berakhir yang ada hanya sebuah perasaan “hangover” yang tidak pernah ingin dimiliki. Setahun yang lalu Arctic Monkeys datang di saat yang tepat, ketika generasi ini sedang gila-gilanya terpukau dengan dunia maya bernama MySpace, sehingga tak heran fenomena itu pulalah yang mengantarkan album tersebut menjadi debut album yang paling banyak terjual di minggu pertama setelah perilisannya di Inggris. Hari ini kita hanya dapat bertanya, apakah semuanya semegah yang kita rasakan saat itu?

Untuk kasus “Whatever…” lagu – lagu yang ada di sana memang memberikan “anthem” baru di awal abad 21 ini. Tapi untuk menindaklanjuti semua mimpi indah itu hanya dalam kurun waktu setahun, kita hanya dapat berperasaan was – was kalau album kedua Arctic Monkeys tidak akan sebrilian debut mereka.

Dan kesan pertama yang timbul membawa album itu terpuruk dalam jurang kekecewaan. Tidak ada lagi lick gitar se-groovy “Fake Tales San Fransisco” atau hook – hook manis seperti dalam “A Certain Romance”, bahkan dibanding dengan “I Bet You Look Good On The Dance Floor”, “Brianstorm” seperti sebuah usaha mengumbarkan kemegahan fana.

Di situlah berakhir sejarah sebuah album yang dinobatkan NME, sebagai album kedua yang paling diantisipasi publik Inggris sejak “Second Coming”-nya The Stone Roses.

Benarkah demikian?

Seperti layaknya dua orang kakak – beradik yang dilahirkan hanya terpaut satu tahun, kedua album itu mempunyai kekuatannya masing – masing. Jika “Whatever…” memukul K.O pendengarnya dengan seketika, “Favourite Worst Nightmare” akan menyengat seperti lebah, tidak akan menyakitkan pertama kalinya, tetapi dengan frekuensi berulang – ulang yang intensif, kita akan takluk padanya.

“Brianstorm” memang bukan sebuah lagu seperti “I Bet You Look Good On The Dance Floor”, tapi simak serangan drum Matt Helders di awal lagu tersebut, begitu memekakkan telinga. Di lagu ini terasa arahan produser James Ford yang juga memproduksi album perdana Klaxons. Dengan teliti ia mengolah setiap instrumen dalam lagu itu, suara Alex Turner di lagu itu mencerminkan sebuah kemisteriusan yang optimis, serangan gitarnya dan Jamie Cook akan menusuk telinga kita dengan tajam, menjadikan lagu ini sebuah pengalaman “sonic” yang menakjubkan.

“Balaclava” dimulai hanya dengan vokal Turner dan permainan bas dari Nick O’Malley. Di lagu ini Arctic Monkeys banyak menfiturkan permainan “stop ‘n go”, perpaduan antara lick – lick gitar yang terdengar hampir seperti sebuah humor yang menggelitik atau hanya permainan bas dan drum/perkusi. Mereka kemudian melangkah lebih jauh lagi dalam “Fluorescent Adolescent”. Lagu ini menggemaskan telinga pendengarnya, membawa kita pada sebuah mimpi ketika Turner menyanyikan “Oh that’s boy a slag, the best you ever had, is just a memory and those dreams, not as daft as they seem. My love when you dream them up..”.

“Only Ones Who Know” adalah lanjutan “Riot Van” dari album pertama. Begitu tenang dan menghanyutkan. Pembuktian kalau Arctic Monkeys tidak hanya dapat memberikan kita lagu – lagu untuk berdansa di tengah malam yang glamour, sesungguhnya lagu ini memberikan harapan akan masa depan Arctic Monkeys.

Bila album ini memiliki sebuah lagu yang menjadikannya “center piece” untuk lagu – lagu lainnya, maka lagu itu adalah “Do Me A Favour”. Jika kita hanya tahu lagu – lagu dari “Whatever…” kita tidak akan pernah berani mempertaruhkan kalau Arctic Monkeys akan menulis lagu seperti ini. Lagu itu menghipnotis kita seperti layaknya berada di bawah siraman matahari hangat Kuta dengan suara gitarnya yang menyeret malas. Sebuah ilusi tidak ingin berlari dari benak kita, terutama ketika Turner menyanyikan “Do me a favour, stop asking questions!….curiosity becomes a heavy load, too heavy to hold, too heavy to hold…how to tear apart the ties that bind? Perhaps fuck off, might be too kind”.

Album ini ditutup dengan “Old Yellow Bricks” dan “505”. Di lagu yang disebutkan pertama Turner melantunkan “Who wants to sleep in the city that never wakes up? Blinded by Nostalgia, who wants to sleep in the city that never wakes up?” Ditemani suara gitar yang akan menghantui kita, seakan mengajak kita untuk mencari arti dari sesuatu di kota yang kita tinggali. “505” adalah permata yang tepat untuk menuntaskan “Favourite Worst Nightmare”. Dimulai dengan sangat pelan dan nyaman, lagu ini kemudian berbalik menjadi sesuatu yang akan selalu kita puja dari Arctic Monkeys di tahun 2007. Ia menenggelamkan kita ke dalam perasaan menerawang, mengetahui sesuatu yang menakjubkan akan terjadi. Ia memanjakan kita dengan segala melodinya yang terlalu menarik untuk ditolak.

Setelah 37:34 menit dibuai oleh Arctic Monkeys, ternyata mimpi buruk itu tidaklah separah yang kita bayangkan. “Favourite Worst Nightmare” telah menyengat kita berulang – ulang, sehingga kita pun tidak bisa melakukan hal lain selain takluk padanya. Ini adalah karya sebuah band yang mencintai musik mereka dan tidak peduli akan media di sekelilingnya. Untuk itu kita pun menghapus skeptis dari muka kita, dan mengangkat topi untuk mereka.

David Wahyu Hidayat

07
Nov
07

Album Review: Thom Yorke – The Eraser

thom_yorke_-_the_eraser.jpg

Thom Yorke
The Eraser
Aksara Records – 2006


Suatu malam di bulan Mei 2006, dua orang “Audiophile” tengah menikmati lautan musik yang keluar dari dua buah box speaker di kamar itu. Hujan deras, menghujam Jakarta di malam itu. Kepulan asap mengabutkan pikiran dan penglihatan mereka, debu rokok dan botol bir pun berserakan di kamar itu. Sambil mendengarkan musik yang membawa mereka lebih melayang lagi dari keadaan jiwa mereka saat itu, pembicaraan kedua sahabat ini sampai kepada seorang musisi asal Ox4, Inggris bernama Thom Yorke. Sosok yang dibicarakan, dijadwalkan merilis solo albumnya pada pertengahan 2006 ini. “Can we expect an album full of Idioteque?” tanya salah seorang dari kedua sahabat itu.

Fast Forward, Jakarta, Juli 2006. Album yang dinantikan itu akhirnya dirilis oleh Aksara Records (YEAH!!!!!!! Teruskan usaha kalian!!!!), dan dikemas dalam sebuah karton bergambarkan seorang misterius bertopi hitam yang memerintahkan Thames untuk meneggelamkan London.

Seorang dari dua “Audiophile” yang bertemu bulan Mei lalu itu, membelinya setelah satu hari Jumat yang sangat menfrustasikan. Memperlakukannya sebagai benda yang sangat sakral, ia berjalan menuju rumahnya, untuk mendengarkan “My Precious” yang baru dibelinya itu.

Dari suara pertama, yang keluar dari Discman-nya, album itu membuatnya ternganga. Bleeps dan loops yang menggangu itu, suara Thom Yorke yang lebih jernih dari sesi – sesi “Kid A – Amnesiac – Hail To The Thief”, semuanya itu bersatu menjadi sebuah keindahan.

Album ini memberikan sebuah harapan akan apa yang akan terjadi dengan album Radiohead selanjutnya. Jika Thom Yorke dapat menyulap “The Eraser” dari potongan – potongan loops dan sample menjadi suatu gelombang melodik yang menakjubkan, apa jadinya jika keempat kolleganya telah bergabung dengannya untuk membuat sebuah album Radiohead ? Fantasi indah yang tak dapat dibayangkan.

Album ini harus dinikmati secara keseluruhan dengan sekuens yang dimulai dari “The Eraser” dan diakhiri dengan “Cymbal Rum”. Hanya dengan cara itu keindahan ambien yang diinginkan Thom Yorke akan tercipta. Keindahan seperti layaknya memasuki jutaan spektrum cahaya yang belum pernah kita lihat sebelumnya, dan mencapai suatu klimaks perasaan yang belum pernah dirasakan. Dan lihatlah dirimu, di akhir album ini kita hanya akan dapat tersenyum, dan tak tersadar telah berdansa segila Thom Yorke pernah berdansa.

Saat bleep terakhir di “Cymbal Rush” itu sirna, kita pun akan bergerak dengan perlahan tapi pasti untuk menekan tombol play lagi, dan memasuki dunia absurd yang diciptakan Thom Yorke.

David Wahyu Hidayat




November 2007
S S R K J S M
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
2627282930  

Categories

Blog Stats

  • 162.100 hits