Arsip untuk November, 2007



07
Nov
07

Album Review: The Strokes – First Impressions Of Earth

fioestrokes.jpg

The Strokes
First Impressions Of Earth
Sony/BMG, RCA – 2006

5 tahun sudah berlalu ketika sebuah album, begitu naif dengan segala kesederhanaannya mengguncang dunia dan memberikan para “post britpop syndrome” sesuatu yang bisa dinikmati. Mereka yang di tahun 2001 mencari sebuah sosok dan arti “coolness” baru pun, menemukannya dalam band tersebut. Album itu berjudul “Is This It”, band itu bernama “The Strokes”.

Dan kita pun bertumbuh dewasa, melewati era “The Band” yang sempat memenuhi nuansa Rok ‘n’ Rol kita di awal milenium baru. Kebanyakan band tersebut hanyalah hembusan udara nafas sejenak di tengah – tengah sesaknya asap diskotek plastik pop dunia kita.

Tetapi The Strokes tetap bertahan, dan mengantarkan karya mereka ketiga dalam wujud sebuah album yang mereka namakan “First Impressions Of Earth”. Apakah semuanya itu masih begitu naif, seperti kita pertama kembali melihat dunia pasca 11 September, saat di mana “Is This It” memberikan sesuatu tendangan kepada hidup kita?

Yang pasti, mereka tumbuh dewasa. Kesederhaan gitar Nick Valensi dan Albert Hammond Jr. Telah berubah menjadi sebuah permainan gitar virtuoso yang bila didengar hampir menyerupai sebuah album heavy metal. Yupe, heavy metal, ini bukanlah sebuah kesalahan tulisan.

Dimulai dengan “You only live once” album ini dibuka dengan baik. Irama pop yang dicampur dengan melodi khas The Strokes, lagu ini adalah versi baru dari “Under Control” pada album “Room On Fire”. Single pertama mereka dari album ini “Juicebox” menyusul lagu tersebut. Bas ala soundtrack Batman di tahun 50-an memberikan unsur kesegaran pada lagu ini. Beitu juga dengan permainan gitar Valensi dan Hammond Jr. yang bersahut-sahutan, memberikan kesan, bahwa mereka adalah nyata band paling “cool” di era 2000-an ini.

Sentuhan heavy metal yang tertulis di atas, terdengar jelas dalam “Heart In Cage”. Mungkin inilah perkembangan The Strokes yang paling pantas diacungkan jempol. Karena kedua gitaris mereka, bukanlah tipe seorang Johnny Greenwood atau seorang Russel Lissack yang banyak bereksperimen dengan tombol-tombol di efek mereka, tetapi berani untuk melangkah lebih jauh lagi sampai batas jari mereka tidak dapat bermain lagi.

Sayangnya sejauh apapun The Strokes berani melangkah, hanya Julian Casablanca yang tidak menemukan perkembangan. Ia cenderung mengulang – ulang lirik yang ia nyanyikan untuk menyampaikan pesan yang hendak ia katakan. Parahnya ia lakukan hal tersebut di 3 lagu berturut – turut dalam album tersebut: “On The Other Side”, “Vision Of Divison” , dan “Ask Me Anything”. Dengarkan album ini dengan menggunakan headphone, dan itu akan menjadi suatu hal yang tidak menyenangkan.

Sejauh apapun The Strokes mencoba mengembangkan dirinya, kenaifan dari “Is This It” telah terhilang di album ini. Bukanlah sesuatu yang salah untuk mencoba merambah ke suatu sound yang baru, tetapi The Strokes melupakan menulis “tunes” dalam keindahan tehnik permainan mereka di album ini. Untung saja lagu seperti “Razorblade” dan “Electriscityscape” yang mencuri melodi dari “Blondie” masih menyelamatkan mereka.

“First Impressions Of Earth” bukanlah tipe album yang akan mensuarakan sebuah “hurra” di malam minggu. Ini adalah tipe sebuah album minggu siang, ketika kita menyadari puncaknya telah lewat, dan melihat dunia kita seperti impresi kita pertama kali melihatnya. Dilihat dari sudut pandang ini, album ini menemukan keindahannya.

David Wahyu Hidayat

07
Nov
07

Album Review: The Rifles – No Love Lost

nolovelost.jpg

The Rifles
No Love Lost
Red Ink – 2006


Saat pertama ketika mendengar suara gitar yang menyerang kedua telinga kita secara bergantian dalam “She’s Got Standards”, nomor pertama dalam debut album The Rifles ini, kita langsung mengetahui bahwa sesuatu yang spesial telah terjadi. Band yang konon adalah band favorit Graham Coxon di tahun 2006 ini, telah menyajikan 11 track (+ 1 hidden track) yang merupakan mutiara – mutiara indie pop tahun ini.

Setiap petikan gitar, tidak terbuang begitu saja. Melodi itu ada untuk menampilkan suatu nada yang memberikan “hook” kepada telinga kita. Musik The Rifles tidak memberikan suatu terobosan baru dengan berbagai macam efek dan “sample”, tapi mereka bertahan di akar mereka, membuat nada – nada “catchy” yang tidak sanggup disuguhkan oleh banyak band yang ada sekarang ini. Bahkan mereka tidak merasa perlu untuk memamerkan kemampuan musik mereka secara berlebihan, tidak ada solo gitar yang berlebihan, yang ada hanyalah kepentingan untuk menampilkan melodi yang akan diingat setiap saat. Walaupun ada sebuah solo, itu tidak akan berdurasi panjang. Cukup singkat untuk menyampaikan semua yang harus disampaikan.

Dengan lagu – lagu seperti “She’s Got Standards”, “Peace & Quiet” dan “Repeated Offender” The Rifles telah berhasil menambahkan koleksi lagu untuk dikenang sebagai anthem di tahun 2006. Terutama di lagu yang disebutkan terakhir, ini adalah lagu yang akan kalian siulkan ketika berangkat bekerja, dan di kesempatan yang lain, ini adalah lagu yang akan kalian putar ketika melewati waktu yang indah di Jumat malam.

Berbeda dengan “saudara – saudara”-nya yang diciptakan sebagai anthem indie disko, nomor – nomor seperti “Spend A Lifetime”, “She’s The Only One”, dan “Narrow Minded Social Club” memberikan kutub yang berbeda dari lagu – lagu “uplifting” tersebut. Di sini The Rifles menampilkan kematangan mereka dalam menulis lagu. Walaupun ditulis dengan tempo yang lebih santai, lagu – lagu tersebut berhasil membawa kita kepada sebuah klimaks sunyi yang indah dan menenangkan.

Bila kita memiliki sebuah band sendiri, dan selalu berkhayal untuk mempunyai kesuksesan musikalis tersendiri, “No Love Lost” adalah album yang selalu kita impikan itu. Album ini tidak akan membawa kita kepada status “Rockstar Stardom” seperti layaknya seorang Bono atau Chris Martin, tetapi kita tahu bila kita membuat album seperti ini, kita telah membuktikan kepada dunia musik, bahwa kita telah menghasilkan suatu karya yang patut diingat. Sebuah mutiara pop.

David Wahyu Hidayat

07
Nov
07

Album Review: Phoenix – It’s Never Been Like That

its_never_been_like_that.jpg

Phoenix
It’s Never Been Like That
Virgin Music – 2006

Sinar mentari pagi yang cerah menembus korden kamar kita, burung berkicau dengan riang, tangan kita masih mengusap mata kita, belum dapat menyambut datangnya sebuah hari yang indah. Hari yang akan kita lalui ini adalah hari terindah yang akan pernah datang, suatu hari yang sempurna.

Secara refleks, tangan kita meraih sebuah kotak CD, bergambarkan 4 orang Perancis muda yang menamakan diri mereka Phoenix, lalu memainkannya di CD player kita. Suara gitar dari “Napoleon Says”, lagu pertama dari album yang berjudul “It’s Never Been Like That” itu mengajak kita menyambut mimpi yang sebelumnya kita temui di tidur kita. Kita pun terbangun dan siap menghadapi hari tersebut.

Dengan gitar “Housemartin”-esque dan sentuhan pop paling manis tahun ini, kita pun keluar dari rumah kita ditemani lagu-lagu seperti “Consolation Prize” dan “Rally”. Melihat ke kiri dan ke kanan, kita melihat orang – orang tersenyum, seakan dunia ini tidak pernah diliputi oleh masalah, dan kita pun tersenyum, mengingat kembali ke belakang apa yang telah terjadi di hidup kita. Mungkin sebuah kecupan di pipi yang akan membuat kita tersenyum, mungkin sebuah gol indah yang membuat kita tertawa puas, atau mungkin itu hanya perasaan kepuasan akan hidup yang kita punya.

Ketika kita duduk, sambil menikmati kopi di kedai kopi favorit kita, kita pun kembali tersenyum melihat langit terbuka lebar di kota yang kita cintai ini. Tersenyum mendengarkan “Long Distance Call” yang berkumandang dari speaker kedai kopi tersebut, membuat kita berada pada perasaan yang menyenangkan di pagi hari.

Lalu kembali ke kendaraan kita masing –masing, masih ditemani dengan suara Thomas Mars dalam “One Time Too Many” kita menyusuri setiap jalan yang kita lalui, menikmati setiap saat pagi hari yang akan hilang sebentar lagi. Sampai ketika nada – nada instrumental “North” datang menyentuh hati kita, dan nada terakhir di album tersebut dilantunkan dalam “Second To None”, hati kita merasakan kesempurnaan. Akan indahnya hari yang baru yang telah diberikan untuk kita.

“It’s Never Been Like That” adalah sebuah album ultimativ untuk melewati musim panas tahun ini, sebuah soundtrack untuk menyambut hari – hari indah, dan melewatinya dengan perasaan berbunga. Percaya atau tidak, album ini seindah perasaan tersebut.

David Wahyu Hidayat

07
Nov
07

Album Review: Muse – Black Holes And Revelations

bharcover.jpg

Muse
Black Holes And Revelations
Warner – 2006


Ada yang salah dengan generasi sekarang ini. Mau tahu kenapa? Kalau popstar dan rockstar mereka datang dari sebuah “Casting Show”, maka itu adalah sesuatu yang tidak normal. Generasi ini kekurangan band sesungguhnya untuk dipuja, sebuah band untuk diagungkan, sebuah band yang merupakan “Rock Star” sejati.

Ingin tahu seperti apa “Rock Star” yang sebenarnya? Pergi ke toko CD terdekat Anda, lalu beli album Muse terbaru berjudul “Black Holes And Revelations” itu. Bila masih ada yang mencap Muse adalah jiplakan Radiohead, berarti ia tidak pernah mengerti tentang Muse ataupun musik. Sama seperti mereka yang mengerti Radiohead hanya dari “Creep”, “High And Dry” dan “Fakes Plastic Tree”. Maaf, bagi kalian, kalianlah sesungguhnya “Fakes Plastic Trees” itu!

“Black Holes And Revelations” adalah album Muse berspektrum paling luas. Seperti dengan judulnya, musik di album ini akan menembus lubang hitam yang paling pekat, dan membawa kita kepada pencerahan alam semesta.

Berangkat dari bumi dengan kidung hikmat “Take A Bow”, kita akan memasuki alam tanpa gravitasi dengan melodi indah “Starlight”. Di sini Muse memberanikan diri untuk menunjukkan pop-appeal mereka dengan paduan lantunan piano dan suara falsetto Matt Bellamy tanpa harus terkesan murah seperti “Keane”. Pada “Supermassive Black Hole” kita diajak menari di pesawat ruang angkasa kita, melayang tanpa gaya tarik. Debut single ini adalah terobosan Muse, seperti muak dengan keadaan dunia sekarang, lagu yang diinspirasikan dari malam – malam yang terbuang di klab-klab New York City, akan mengajak kita berdansa ke dalam malam yang memabukkan.

“Map Of The Problematique” meneruskan ekstase kita di malam itu. Mengkombinasikan distorsi gitar, dan suara synth yang manis, kita dibawa tetap berada dalam situasi terbius, dalam khayalan. “Soldier’s Poem” adalah musik “for the morning after” setelah mendengarkan suara bombastis keempat track pertama album ini. Sekilas terdengar seperti saudara kembar “Unintended”, lagu ini membuktikan Muse belum kehilangan sentuhan mereka menyuarakan lagu – lagu untuk menemani fajar – fajar pilu penuh kepedihan.

“Follow through/make your dreams come true/don’t give up the fight/ you will be all right because there’s no one like you in the universe”. Kata – kata ini mengawali “Invincible”, sebuah nomor indah penuh keoptimisan seperti layaknya keindahan akan terbukanya sebuah peluang baru untuk memulai hari. “What you leave behind/and what you choose to be/ and whatever they say/ your soul’s unbreakable”. Lagu ini ditutup dengan kata – kata “We’re invincible”. Yupe, jangan peduli pada yang lain, lakukan yang harus dilakukan, maka kita tidak akan pernah terkalahkan.

“Black Hole And Revelations” menampilkan seluruh kemampuan Muse dari 3 album sebelumnya. Nada – nada pilu Matt Bellamy, paduan bas dan drum yang membuat kalian bergoyang, serta raungan gitar virtuoso itu menciptakan ruang tersendiri yang akan kita lihat ketika mendengarkan album ini. Ditutup dengan “Knights Of Cydonia” sebuah nomor epik yang meledakkan alam semesta suara di kuping kita, Muse memberikan kita apa yang kita cari selama ini. Inginkan sebuah “Supernova Rock Star” ? Album ini jawabannya.

David Wahyu Hidayat

07
Nov
07

Album Review: Kasabian – Empire

kasabian_empire.jpg

Kasabian
Empire
Sony/BMG – 2006


Apa yang akan dirasakan oleh seorang anak kecil, jika ia telah mengetahui apa yang akan ia dapatkan sebagai hadiah Natalnya di bulan November? Ketika hari Natal tiba, dan ia mendapatkan hadiah yang sebenarnya, momen mengejutkan itu telah hilang. Semuanya terasa seperti terantisipasi. Biarpun hadiah itu adalah seusatu yang menakjubkan, tapi keajaibannya telah hilang. Karena anak itu telah mengetahui sebelumnya.

Di tahun 2006 ini, di mana akses ke musik menjadi sebegitu mudahnya dengan situs seperti myspace.com, tanggal rilis album baru dari sebuah band tidak lagi menjadi sesuatu yang membuat penasaran. Seringkali dikehendaki oleh band itu sendiri, mereka menaruh musik yang akan mereka rilis di myspace. Mungkin dengan tujuan promosi, di lain sisi untuk menunjukkan “F*ck You – attitude” kepada perusahaan rekaman mereka. Yang diuntungkan adalah kita sebagai penggemar musik, yang dapat menikmati itu semua secara gratis.

Sedihnya, momen penasaran itu telah terambil sendirinya dari kita, yang sebagai seorang fans tidak tahan untuk tidak mendengarkan sebuah bentuk musik baru entah dari myspace atau dalam bentuk lainnya.

Dalam hal album baru Kasabian yang berjudul Empire, band asal Leicester tersebut telah menaruh album ini dalam versi lengkap mungkin kurang lebih sebulan sebelum album itu sendiri dirilis. Setelah pendegaran pertama, yang ada hanyalah sebuah perasaan bahwa semuanya telah terantisipasi. Tidak ada yang baru.

Yang salah dari Empire bukanlah myspace. Didengar pertama kali, kemegahan Kasabian yang pernah ada di “Club Foot” dipaksa untuk tampil lebih “grandious” di album ini, entah dengan tambahan permainan “string quartet” atau alat musik tiup, atau hanya dengan sesederhana efek synth yang ada di setiap lagu di album ini. Kesan pertama adalah kekecewaan, karena album ini tidak mengejutkan. Seperti ditulis oleh salah satu majalah musik, album ini adalah kopi dari kopi dari kopi. Masih adakah kemegahan yang tersisa di sana?

Baru ketika kita mencoba mendengarkan album ini berulang – ulang, kita merasakan ada sesuatu yang patut disorot lebih teliti lagi di sini. Tak sengaja, “hook” yang dinyanyikan Tom Meighan dalam “By My Side” kita nyanyikan sambil menghirup kopi kita di pagi hari. Ketika kita mengendarai mobil kita di malam hari, tangan kita tak sadar mengetuk-ngetukkan jari ke setir mengikuti ritmus dari “Stuntman”. Kaki kita dihentakkan ke lantai mengikuti dentuman bas Chris Edwards di “Shoot The Runner” dan “Last Trip (In Flight)” ketika kita mempersiapkan malam minggu dengan diiringi album ini. Ketika kita memandang ke belakang hari yang telah kita lewati diiringi dengan biusan melodi dari “British Legion” dan “The Doberman”, tanpa disadari album ini berubah menjadi sesuatu yang lebih mengagumkan dari kesan pertamanya.

Jika saja mereka tidak terlalu berambisi untuk membuat album terhebat setelah “Definitely Maybe” dan lebih berkonsentrasi ke diri mereka sendiri, mungkin album ini bisa menjadi sesuatu yang mencengangkan. Mungkin album ini tidak akan membawa kita ke tanah perjanjian yang dijanjikan Tom Meighan dan Sergio Pizzorno, tapi ini masih cukup untuk menuntun kita menuju sebuah oasis dari tengah gurun yang kita tinggalkan.

David Wahyu Hidayat

07
Nov
07

Album Review: The Coral – The Invisible Invasion

theinvisibleinvasion.jpg

The Coral
The Invisible Invasion
Deltasonic – 2005

Musik terkadang dapat menyampaikan sebuah pesan pada seorang manusia, yang hanya berfungsi ketika seseorang berada dalam perasaan, situasi dan musim tertentu. Album terbaru “clique” asal Hoylake, Liverpool ini adalah salah satu musik yang dapat dimasukkan dalam kategori di atas. Musim yang dimaksud adalah musim panas, perasaan yang dimaksud adalah perasaan ditinggalkan seseorang dan meninggalkan sebuah tempat, situasi yang dimaksud adalah saatnya membuat perubahan untuk memulai sesuatu yang baru.

Sejak debut album mereka, The Coral telah berada di pop universum yang berbeda dibanding band-band lainnya. Mereka seperti selalu berada di tahun 60-an, selalu meminum kapsul mesin waktu yang membawa mereka berada terus di “summer of love”. Dan yang mengherankan, mereka melakukannya dengan sangat baik. Terlepas dari mini album mereka tahun lalu (“Nightfreaks and the sons of becker), The Coral selalu menghasilkan pop-nostalgie yang indah, yang membawa kita seperti seorang “scouse” yang sedang mendengarkan koleksi piringan hitam ayah kita sambil menikmati teh bersama Bill Shankly.

Dibuka dengan “She sings the mourning” dan dilanjutkan dengan “So long Ago”, “The Invisible Invasion” langsung mengantarkan kita kepada “vibe” tahun 60-an yang sangat authentik. Terutama dalam “So long ago” yang memadukan petikan gitar dengan melodi manis, menjadikan lagu ketiga di album ini sebagai salah satu nomor terbaik yang pernah dimainkan The Coral.

“A warning to the curious” adalah lagu untuk sesorang yang tidak percaya lagi akan cinta. James Skelly dengan malas menyanyi “Its better not to be in love, than to be in between…..If I never had you, than I wouldn’t feel the way I do now”. Alunan gitar yang mendayu-dayu mengiringi perasaan seseorang yang sedang muak dengan dicintai dan mencintai. Sebaliknya dalam “Something inside of me” Skelly seperti menemukan kembali indahnya sebuah cinta. Kemalasan dan kemuakan yang terdengar di “A warning to the curious” berubah menjadi sebuah lantunan optimismus, tentang seseorang ia inginkan, dan melupakan mereka yang telah berlalu “There’s something inside of me, feels like I’ll be wanting you forever….when there’s something inside of me, and now I can’t look back”.

Optimispus pula yang mereka ingin sampaikan dalam “In the morning”. Sebuah nomor pop indah dengan lantunan “glockenspiel” mengiringi Skelly yang sedang bernyanyi “Out of the dark into the light, when the morning comes I will be alright”. Percuma menyesalkan apa yang telah terjadi, karena itu semua sudah terjadi dan tidak dapat dirubah. Yang berarti adalah semua yang ada di depan kita, yang masih bisa diusahakan dengan tangan kita sendiri. Optimismus ini mengantarkan kita pada pesan ketiga di album ini yaitu pergi dan meninggalkan suatu tempat untuk memulai sesuatu yang baru. “I’m leaving today, to much time’s already wasted…they’re only sorrows until tomorrow, I’m leaving today” lantun Skelly di “Leaving today”, yang akan membuat kita tidak akan pernah menengok ke belakang, ketika kita mengendarai mobil kita meninggalkan sebuah kota menuju tujuan yang kita cintai, mengikuti cerahnya pancaran sinar mentari.

Ini adalah album untuk kembali menemukan kembali arti hidup di setiap orang, setelah mengalami kepenatan yang terjadi di masa lalu. Album untuk melupakan kesesalan dan menemukan kembali artinya cinta. Album untuk meninggalkan dan mendapatkan kembali kedamaian di hidup setiap orang. The Invisible Invasion.

David Wahyu Hidayat

07
Nov
07

Album Review: Oasis – Don’t Believe The Truth

oasis_dont_believe_the_truth.jpg

Oasis
Don’t Believe The Truth
Sony BMG – 2005


Beberapa orang tidak dapat meninggalkan tahun 90-an. Dekade yang telah memberikan kita Grunge, Post Grunge, Britpop, generation-X, Friends dan tentu saja Oasis. Bagi beberapa orang, band asal Burnage, Manchester ini telah menyelamatkan masa muda mereka. Oasis telah memberikan mereka “lifestyle” untuk memandang hidup dengan optimis, untuk menikmati masa muda dengan tangan terkepal ke udara. Dengan alasan itulah mereka tidak dapat lari meninggalkan Oasis, apapun yang terjadi dengan band tersebut, apapun kualitas album yang mereka hasilkan. Karena seperti yang pernah dilantunkan Liam dengan sangat manis di pertengahan 90-an, Oasis adalah “the one that save me”.

Sekarang di pertengahan dekade yang baru ini, kita pun beranjak dewasa. Begitu juga Noel dan Liam. Mereka tidak lagi memproduksi lagu-lagu seperti “Cigarettes and Alcohol”, “Supersonic” atau “Live Forever”, tetapi mencoba mencari makna dan ideal sebuah hidup di “Don’t believe the truth”. Hilang sudah solo gitar Noel yang mengagumkan seperti dalam “Bring it on down” atau “Headshrinker”. Oasis 2005 adalah Oasis yang menunjukkan mereka sebagai sebuah band yang utuh, yang masih memberikan arti bagi mereka yang tidak pernah bisa keluar dari tahun 90-an.

Karena bila dilihat dengan obyektif, “Lyla” tidak akan menggerakkan anak umur 15 tahun untuk membentuk sebuah band. Inspirasi mereka sekarang akan datang dari band-band baru seperti Maximo Park atau Bloc Party. “Don’t believe the truth” adalah sebuah album bagi mereka yang mengenal sedikit sejarah musik, untuk mereka yang tahu siapakah Velvet Underground dan Revolver adalah album terbaik yang pernah dihasilkan The Beatles.

Oasis di “Don’t Believe The Truth” tidak lagi mencoba untuk membuktikan diri mereka sebagai band terbaik yang pernah ada di dunia ini. Di album ini mereka puas dengan apa yang telah mereka raih, dan hal ini justru memberikan “Don’t Believe The Truth” suatu kelebihan. Diawali dengan “Turn Up The Sun” yang merupakan pembuka album yang tidak khas dari Oasis dibanding “Hello” dan “The Hindu Times”, mereka mencoba untuk memberikan “vibe” lain di komposisi Andy Bell ini. Melody gitar dan Outro di lagu tersebut, membawa kita untuk terbuai, sebelum berubah menjadi sebuah nomor khas Oasis.

“Mucky Fingers” adalah tribut Noel untuk Velvet Underground. Intens dan dengan solo harmonika di akhir lagu, mejadikannya sebagai salah satu lagu yang sangat lain yang pernah dihasilkan Oasis. Ketiga komposisi Liam, seperti dalam “Heathen Chemistry” juga bersinar di album ini. Terutama “The Meaning Of Soul”. 102 detik Rok ‘n’ Rol murni. Langsung, cepat dan menghajar telinga kita dengan optimismus alá Oasis “I’m a different breed, I’m outta league, I’m 10 out of 10, alright”.

Pusat dari album ini tapi terletak di “The Importance Of Being Idle”. Noel dengan mengejutkan mencoba bernyanyi dengan sebuah falsetto yang indah. Sebuah lagu untuk mencoba mencari kepuasan dan arti hidup yang kita jalanin. Lagu untuk mid-20’s yang sedang berada di persimpangan jalan. Lagu bagi mereka yang 10 tahun lalu diselamatkan oleh Oasis di masa muda mereka, dan begitu juga kali ini. “But I don’t mind, as long as there a bed beneath the stars that shine, I’ll be fine, if you give me a minute, a man’s got a limit, I can’t get a life in my heart’s not in it”.

Album ini mungkin bukanlah “A return to form” seperti yang banyak diharapkan orang, tapi lebih sebagai sebuah karya dari mereka yang telah mencapai puncaknya, dan sekarang hidup dalam usaha untuk mempertahankan apa yang mereka punyai, yakni keidealan hidup. Bagi kita, yang tidak bisa lari dari tahun 90-an, Oasis masih berarti banyak, karena mereka masih membuat kita ingin menggapai mentari dan bersinar bersamanya.

David Wahyu Hidayat

07
Nov
07

DVD Review: Morrissey – Who Put The ‘M’ in Manchester

whoputthem.jpg

Morrissey
Who Put The ‘M’ in Manchester?
Attack Films – 2005

Elvis tidaklah mati. Ia hanya hidup di exil, di bawah lindungan palem dan teriknya sinar matahari Kalifornia. Tahun lalu, ia kembali dengan sebuah album baru berjudul “You Are The Quarry”, dalam wujud seorang bernama Stephen Patrick Morrissey.

Stop! Tentu saja Elvis telah mati, dan seorang Morrissey bukanlah seorang Elvis. Tapi tanyakan itu pada semua orang yang menghadiri konser “homecoming” Morrissey di hari ulang tahunnya itu, pasti mereka semua menganggap kalau pria setengah baya yang berdiri di atas panggung Manchester Evening News Arena malam itu ialah seorang “Elvis” bagi diri mereka, bahkan lebih besar dari “The King” sendiri.

Morrissey adalah sebuah fenomena. Di manalagi kita melihat pemandangan “gadis berusia tujuh belas tahun berteriak histeris seperti bertemu seorang Justine Timberlake” dalam diri pria dan wanita yang sedang mengalami “midlife crisis”, kalau bukan di konser Morrissey? Morrissey ialah sebuah pelepasan, liriknya memperbolehkan banyak orang menjalani hidupnya sebagai seorang outsider dalam lingkungan mereka, musiknya meninju, meludah dan tidak mengasihani tatanan sosial manapun yang ada di kehidupan kita.

Yang membuat Morrissey tidak akan pernah tersentuh oleh singer/songwriter manapun, ialah kemampuannya untuk menulis lirik yang berdasarkan kenyataan dan menonjolkan ironi kehidupan kita. Pertama mendengar, liriknya ialah bahan untuk tertawa, karena tidak pernah ada yang menulis lirik setolol dan sejujur dia. Tapi justru di situlah letak keletakan lirik Morrissey, karena secara tidak sadar semua gambaran yang ditumpahkannya dalam lirik yang ia tulis, ialah kehidupan sehari – hari yang kita punya, diriku, dirimu, dan semua orang yang hidup di dunia ini.

DVD ini menawarkan Morrissey yang walaupun telah memasuki usia 40-an, tapi masih tetap berada di form yang sama seperti ketika ia bersama Johnny Marr di The Smiths menulis lagu – lagu terbaik dekade 80-an. Ya, harus diakui ia telah berubah menjadi seorang yang sedikit gendut dan tidak dapat menyembunyikan lagi raut keriput di mukanya. Tapi Morrissey tetap Morrissey. Ia masih sanggup melontarkan ucapan – ucapan penuh satire yang akan membuat kita tertawa, dan musiknya masih dapat membuat kita menjadi orang paling bahagia di muka bumi ini.

“Who Put The ‘M’ In Manchester” adalah dokumen esensial artis terpenting yang pernah dimiliki Manchester. Setelah menontonnya, kita akan sadar lagu – lagu inilah yang akan selalu mengingatkan kita pada saat – saat yang indah dan menyedihkan. Inilah yang membuat masa muda dan kehidupan kita sekarang terasa lebih ringan, karena ia bersama lagunya mengerti apa yang telah kita jalani dan sedang kita dihadapi. Morrissey telah memberikan cahaya yang tidak akan pernah sirna dalam kehidupan kita. Ceritakan ini pada anak – cucu kalian.

David Wahyu Hidayat

07
Nov
07

Album Review: Doves – Some Cities

somecities.jpg

Doves
Some Cities
Heavenly/EMI – 2005

Ingat musim panas 2002? Waktu “Pounding” dari Doves menjadi soundtrack musim panas kita. Ketika segalanya berjalan sempurna, satu musim panas lamanya? Sekarang Doves kembali, untuk mengantarkan sebuah soundtrack lain untuk kita. Bukan untuk sebuah saat di mana kita merasakan keindahan untuk sekejap, tapi mereka memberikan soundtrack kepada kota yang kita cintai, di mana perubahan di kota itu berarti juga perubahan bagi diri kita, di mana kita tumbuh berkembang sebagai manusia, seperti kita berada sekarang. Apapun namanya kota itu: Jakarta, Bandung, Dortmund, Amsterdam, Manchester; Doves telah mengantarkan sebuah album penuh “hommage” kepada kota yang kita cintai masing – masing.

“Too much history coming down” dinyanyikan Jimi Goodwin, dalam titel track sekaligus pembuka album tersebut. Baginya kota itu ialah Manchester, bagi diri penulis artikel ini, kota itu adalah Jakarta, dan Dortmund. Kota yang kita tinggali masing – masing, secara tidak langsung telah menjadi bagian dari diri kita. Terlalu banyak kenangan yang hinggap di sana, sehingga terkadang sulit untuk beranjak dan meninggalkannya. Dengarkan “Some Cities” sambil menelusuri setiap sudut kota yang kita cintai, dan kita akan menangis tertawa mengingat setiap kenangan yang terdapat di sana.

“Black And White Town” ialah usaha Doves mengembalikan atmosfir yang diberikan “Pounding” di album kedua mereka “The Last Broadcast”. Hentaman drum khas Andy Williams, permainan piano “the unofficial 4th member” Martin Rebelski, dan backing vokal di lagu tersebut, memberikan sentuhan “soul” yang sangat “uplifting”. Ini adalah lagu untuk meninggalkan sebuah kota yang sudah tidak dapat menawarkan apa – apa lagi dalam kehidupan kita. “You better make sure that you don´t crack your head on that pavement” kata Goodwin di lagu tersebut.

Menarik dari “Some Cities” ialah kenyataan, kalau kita dari awal tahu, bahwa album ini adalah sebuah album yang luar biasa, tetapi tidak akan pernah mencapai titik sempurna. Lihat saja permainan gitar Jez Williams yang terkesan terpatah-patah di “Black And White Town”, intro gitar yang tidak harmonis di “Almost Forget Myself”, atau dalam “The Storm”, kita seperti mendengarkan sebuah radio di tengah badai, yang justru menimbulkan keindahan lagu tersebut. Doves adalah sebuah keindahan yang tidak pernah mencapai kesempurnaan di dalam album ini, dan di situlah letak kekuatan mereka.

“Walk in Fire” adalah “There Goes The Fear” versi ringan mereka di album ini. Walaupun terkesan Doves seperti mengulang apa saja yang telah mereka buat di dua album sebelumnya, “Some Cities” tidak pernah membosankan. Album tersebut malah makin menunjukkan sisi – sisi yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya, setelah beberapa kali mendengarkannya.

Beberapa orang mengklaim debut album Doves “Lost Soul” sebagai album yang menyelamatkan kehidupan pernikahan mereka. “Some Cities” adalah album yang akan menyelamatkan mereka, yang sedang mengalami “mid-twenty crisis”. Dengarkan album ini di jam – jam pertama sebuah hari yang baru, dan kita akan menyadari kehidupan yang ada di depan, tidaklah sesuram yang kita bayangkan. Karena pada akhirnya akan ada sesuatu atau seseorang yang akan membawa kita kembali kepada cinta dan kehidupan seperti dinyanyikan Goodwin di “Snowden”, “Bring me back to love/Bring me back to life”.

Pada akhirnya kita kembali ke kota yang kita cintai, untuk menjalani kehidupan yang kita miliki, dan kita pun tertawa bersama mereka. “Some cities crush/ Some cities heal/ Some cities laugh”.

David Wahyu Hidayat

07
Nov
07

Album Review: Coldplay – X & Y

xycoverbig.jpg

Coldplay
X & Y
Parlophone – 2005


“Make Trade Fair”. Setiap orang yang pernah melihat diri Chris Martin di konser atau layar kaca, pasti pernah melihat tulisan tersebut di tangannya. Sebuah slogan yang mengkampanyekan perdagangan yang lebih adil di dunia ini. Sebuah ide untuk membuat dunia ini sedikit lebih baik. Tapi sejujurnya, pernahkah ada seorang di antara kita yang mencoba menerapkannya? Kita tetap saja membeli merk kopi yang biasa kita beli dibanding membeli kopi “fair handle”. Salut untuk mereka yang merubah cara berkonsumsi dirinya karena seorang Chris Martin.

Pernahkah kita tapi melihat arti slogan tersebut di dalam diri Chris Martin sendiri, atau Coldplay sebagai sebuah band, atau dari segi industri musik sekarang ini? Dengan harga tiket konser aktuel mereka sebesar 53 Euro, tidakkah semuanya itu patut dipertanyakan? Tidakkah mereka dapat memberikan “fair trade” untuk fans mereka sendiri? “Fair Trade” adalah ide yang baik, tapi butuh waktu bagi semua orang untuk meresapnya di otak dan menjalankannya di kehidupan masing-masing.

Tapi tulisan ini bukanlah tentang “Fair Trade”, artikel ini seharusnya menceritakan betapa indahnya album terbaru Coldplay. Benarkah semuanya begitu indah? “This album cannot fail” tulis NME di review album mereka. Dan memang ketika mendengar nomor pertama di “X & Y” semua ramalan itu seperti terpenuhi. “Square One” adalah lagu pertama Coldplay yang tercipta tidak berdasarkan komposisi Mr. Paltrow. Guy dan Will menemukan “groove” di lagu tersebut dengan sebuah drum-computer yang telah usang. Terdengar begitu menjanjikan.

Memasuki “What If” euphorie tersebut tapi tertahan. Karena lagu ini adalah lagu standard Coldplay yang akan membuat kita menyalakan korek masing-masing di tengah lautan manusia yang tidak kita kenal di sebuah stadion. Yang disayangkan dari “X & Y” adalah semua lagu – lagu yang berada di album tersebut terlalu mudah untuk diperkirakan. Mendengarkannya pertama kali, seperti mendengarkan lagu yang sama berulang-ulang. Bahkan lantunan Martin pun seperti dinyanyikan dalam nada yang sama.

Steve Lamacq (moderator ternama BBC Radio One) mendapatkan kehormatan pertama menjadi orang pertama di dunia ini, yang dapat memutar “Speed Of Sound”. “I can feel laser” katanya waktu itu, dan bayangan kita langsung terbang melihat sinar-sinar laser hijau dalam “Clocks” di dalam live DVD mereka dari tahun 2003. Mereka yang tergila-gila akan “A Rush Of Blood To The Head” akan jatuh pingsan mendengar lagu ini, tapi sebagian lainnya mengharapkan sesuatu yang lebih dari Coldplay. Begitu juga dengan “Talk”. Lagu yang didasari sample dari Kraftwerk (Computer Love) ini, tidak dapat memenuhi harapan yang sudah terlanjur besar.

Memang “X & Y” tetap memiliki permatanya seperti dalam “Fix You” dan “Twisted Logic”, tapi masih terlalu dini untuk mengklaim album ini sebagai album terbaik yang pernah dibuat Coldplay. Beberapa orang di antara kita masih mengharapkan kenaivan sebuah album seperti “Parachutes”. Mungkin seperti “Make Fair Trade” album ini membutuhkan waktu untuk memberikan artinya masing-masing di kehidupan kita. “The lights will guide you home” lantun Martin di “Fix You”, dan mungkin itu pula yang akan menuntun kita untuk mencintai “X & Y”.

David Wahyu Hidayat




November 2007
S S R K J S M
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
2627282930  

Categories

Blog Stats

  • 162.256 hits