14
Agu
11

Album Review: Arctic Monkeys – Suck It And See

Arctic Monkeys

Suck It And See

Domino Records – 2011

 

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Mereka yang dahulu memberikan inspirasi pada kehidupan mortal yang penuh cobaan ini telah tiada. Mereka, adalah band yang memberikan sesuatu untuk dipercayai ketika tidak ada lagi yang jujur di kehidupan ini. Mereka telah hilang, bubar dalam perseteruan tiada henti dalam kebesaran, tenggelam dalam kemabukan rok ‘n’ rol fana, atau punah satu persatu dalam kekosongan budaya maya yang serba instan.

Namun harapan kita tidaklah hilang untuk selamanya, beberapa band tetap berada dalam jalur yang telah ditentukan sejak debut albumnya, kalau tidak menjadi lebih baik dari album ke album. Salah satu band yang masuk dalam kategori tersebut adalah Arctic Monkeys, yang dengan kecepatan konstan dan kualitas stabil telah melebihi band-band seangkatan mereka dengan merilis “Suck It And See”. Bila “Humbug” adalah momen di mana musik mereka berubah menjadi dewasa melalui musik psikedelia dengan riff yang tebal dan kasar, maka di album keempat ini adalah album yang akan memantapkan posisi mereka sebagai band papan atas Britania saat ini. Terlalu berkelas sentuhan pop yang ada di album ini untuk menjadikan mereka terperangkap ke dalam jeratan psikedelia, namun di sisi lain masa paruhnya terlalu lama untuk menjadikan album ini hanya sensasi musim panas 2011 semata.

Dentingan gitar pada “She’s Thunderstorms” dengan manisnya membuka album ini dengan sempurna. Suara Alex Turner beradu dengan riff gitar memasyukkan dari Jamie Cook. Buaian melodi itu diteruskan pada “Black Treacle” dengan liriknya “Now it’s getting dark, and the sky looks sticky….I feel like the sundance kid behind synthesiser…but it never seems to be there where you want it”.

Perjalanan penuh ayunan melodi itu disela oleh kepadatan riff “Brick By Brick” yang verse-nya dinyanyikan oleh sang drummer Matt Helders. Tetapi kita tidak lama-lama dipenuhi oleh ekstase psikedelia, karena pada lagu berikutnya “The Hellcat Spangled Shalalala” hormon kebahagiaan kita digoda dengan kepenuhan kebahagiaan musim panas dalam melodi-melodi lagu itu.

3 lagu yang mengikutinya “Don’t Sit Down ‘Cause I Moved Your Chair”, “Library Pictures” dan “All My Own Stunts” adalah rock ala Arctic Monkeys yang merupakan lanjutan dari psikedelia padang pasir Nevada tempat mereka membuat “Humbug” dengan distorsi yang menggema misterius dan efek gitar yang menyayat dalam ke lubuk hati.

Di album ini Arctic Monkeys seperti mempunyai sebuah saklar pengalih yang mengganti atmosfir lagu dari rock berat dan padat kepada gelombang pop lembut yang membuai kita kepada sebuah impian manis akan pancaran hangat masa muda yang tidak pernah akan berakhir seperti pada “Reckless Serenade”, “Piledriver Waltz” & “Love Is A Laserquest”.

Seperti sebuah pendekar yang menuntaskan lawannya dengan jurus pamungkas, Arctic Monkeys membiarkan kita menunggu 12 lagu, sampai kita mendengarkan lagu terakhir album ini “That’s Where You’re Wrong” yang definitif adalah lagu terbaik di album ini. Lagu ini memberikan obat bius untuk telinga kita, candu untuk hati, serta kesegaran dalam nalar ketika Alex Turner menyanyikan “Jealousy in technicolor, fear by name than love by numbers….she looks as if she’s blowing a kiss at me, and suddenly the sky is a scissor, dibalut dengan permainan gitar yang sederhana tetapi akan membuat kita bersiul mengikutinya tanpa sadar. Ini adalah akhir dari “Suck It And See”, tapi yang sebenarnya terjadi, ini semua adalah harapan baru, akan sebuah band yang masih dapat memberikan inspirasi dan arti dan patut disandingkan dengan band besar dari Britania yang telah ada sebelum mereka. Duduk santai, dengarkan album itu, serap dan lihat semuanya itu akan terjadi sesuai yang kita harapkan.

David Wahyu Hidayat


1 Tanggapan to “Album Review: Arctic Monkeys – Suck It And See”



Tinggalkan komentar


Agustus 2011
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
293031  

Categories

Blog Stats

  • 162.256 hits